Penulis: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
AKAL sehat bangsa ini sedang diputarbalikkan. Instrumen keamanan negara seolah kehilangan kemampuan mengidentifikasi siapa musuh sebenarnya, sementara ruang publik dipenuhi narasi yang menyesatkan.
Bahkan sebagian mahasiswa yang dulu dikenal sebagai moral force kini tampak diam, ketika skandal demi skandal yang menyeret keluarga mantan presiden berimplikasi pada keterbelahan bangsa.
Krisis politik yang kita saksikan hari ini bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan warisan dari satu dekade kepemimpinan Jokowi yang penuh dengan gaya kepemimpinan otoritarian personal, dibalut syahwat kekuasaan dan tradisi politik.
Akal sehat bangsa ini sedang diputarbalikkan. Instrumen keamanan negara seolah kehilangan kemampuan mengidentifikasi siapa musuh sebenarnya, sementara ruang publik dipenuhi narasi yang menyesatkan.
Bahkan sebagian mahasiswa yang dulu dikenal sebagai moral force kini tampak diam, ketika skandal demi skandal yang menyeret keluarga mantan presiden berimplikasi pada keterbelahan bangsa.
Krisis politik yang kita saksikan hari ini bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan warisan dari satu dekade kepemimpinan Jokowi yang penuh dengan gaya kepemimpinan otoritarian personal, dibalut syahwat kekuasaan dan tradisi politik Jawa yang menolak ikhlas menjadi nomor dua.
Genk Solo adalah representasi paling vulgar dari kultur itu, sebuah pola kekuasaan yang memandang suksesi sebagai ancaman, bukan keniscayaan demokrasi.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari kerusuhan dan penjarahan dalam peristiwa Agustus Kelabu?
Sejarah politik Indonesia mencatat, setiap kerusuhan besar hampir selalu melahirkan “pemenang politik” di balik layar.
Publik berhak curiga bahwa rakyat sengaja dikorbankan untuk melanggengkan syahwat kekuasaan elite. Demonstrasi menuntut keadilan sosial bisa dengan mudah direkayasa menjadi kerusuhan, karena ada aktor intelektual dengan mens rea yang jelas yakni ambisi merebut kekuasaan.
Ironinya, ketika jejak provokator sudah begitu kasat mata, yang terjadi justru salah bidik aparat: rakyat dituding provokator, sementara dalang di balik layar aman dalam kamuflase politik.
Narasi yang menyebut TNI akan menerapkan darurat militer adalah contoh paling terang dari strategi “lempar batu sembunyi tangan”. Dalam literatur politik, teori scapegoating menyebut bahwa kelompok berkuasa sering menciptakan musuh imajiner untuk mengalihkan krisis legitimasi.
Padahal, TNI setidaknya pasca reformasi jelas memegang teguh identitasnya sebagai tentara rakyat dan nasional. Tidak ada syarat hukum dan politik yang terpenuhi untuk memberlakukan darurat militer.
Maka, tudingan itu bukan saja suudzon, melainkan strategi untuk membangun opini bahwa negara dalam keadaan gagal, sehingga presiden bisa dipaksa mundur.
Dalam konteks ini, wajar bila kecurigaan publik diarahkan pada lingkaran Jokowi yang masih berhasrat mengendalikan kursi presiden, meski era kepemimpinannya sudah berakhir.
Fenomena “lempar batu sembunyi dalang” ini persis seperti dikritik Tan Malaka dalam Madilog bahwa politik penuh manipulasi sering menyamarkan sebab-akibat demi melanggengkan kepentingan kelas berkuasa.
Begitu pula Sun Tzu dalam The Art of War menegaskan, “All warfare is based on deception (Semua peperangan didasarkan pada tipu daya)”. Politik Indonesia hari ini sedang dijalankan dengan strategi tipu daya: menciptakan chaos untuk menutupi siasat makar. Bahkan Al-Qur’an telah memberi peringatan, bahwa para perusak sering tampil dengan wajah reformis: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah para perusak, tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Baqarah: 11–12).
Perubahan narasi demo dari “adili Jokowi dan makzulkan Gibran lewat DPR” menjadi “bubarkan DPR” memperlihatkan adanya operasi politik tingkat tinggi.
Amarah rakyat atas gaya hidup hedonis anggota DPR dijadikan legitimasi untuk melemahkan lembaga legislatif, sekaligus menciptakan kesan bahwa demokrasi gagal.
Strategi ini berbahaya, karena membuka ruang kudeta merayap terhadap pemerintahan Presiden Prabowo. Dengan kata lain, Jokowi tengah memainkan politik “angkot” yang menurunkan penumpang di mana saja jika dianggap menghalangi jalan dinasti.
Sejarah politik Indonesia mulai dari kerusuhan 1965, 1998, hingga konflik elite kontemporer, selalu memperlihatkan pola serupa yaitu rakyat dipaksa menjadi korban, sementara aktor elite bernegosiasi di belakang layar.
Kini pola itu berulang dengan wajah baru, lebih terorganisir, lebih sistematis, dan lebih berbahaya. Jika benar ini adalah skenario makar, maka bangsa ini sedang diuji apakah masih punya kesadaran kolektif untuk melawan politik tipu daya yang menggerus nilai kebangsaan.
Bangsa ini tidak boleh terus-menerus tersandera oleh satu keluarga dinasti. Jalan keluarnya bukan menyerah pada narasi chaos, melainkan mencari, menemukan, dan menyingkap siapa sebenarnya pengkhianat bangsa.
Dalam filsafat dialektika materialisme, konflik hanya bisa diurai jika akar penyebabnya dibongkar secara objektif, bukan ditutupi oleh retorika.
Demokrasi harus dibersihkan dari politik keluarga, politik patronase, dan politik lempar batu sembunyi dalang. Hanya dengan itu bangsa ini bisa kembali pada marwahnya yang bermartabat, berdaulat, dan berkepribadian.



