Oleh: Delky Nofrizal Qutni*
Sejarah terkadang suka berulang dalam bentuk yang berbeda. Jika 60 tahun lalu bangsa ini dikejutkan peristiwa G30S/PKI, kini Aceh diingatkan lewat sebuah ironi di media sosial dengan sebutan G30S PLN.
Dari 29 September hingga 1 Oktober 2025, hampir seluruh Aceh gelap gulita. Listrik padam, jaringan komunikasi terputus, aktivitas ekonomi lumpuh, dan roda pemerintahan tersendat.
Di media sosial, istilah G30S PLN pun lahir sebagai sindiran pedas terhadap betapa rapuhnya infrastruktur energi di Serambi Mekkah.
Kegelapan itu bukan sekadar insiden teknis, melainkan simbol keterpurukan kebijakan energi. Aceh yang digadang-gadang sebagai daerah kaya sumber daya justru masih tergantung pada kabel interkoneksi dengan Sumatera Utara.
Bayangkan, dua dekade setelah damai, dengan kucuran dana otonomi khusus triliunan rupiah tiap tahunnya, Aceh masih berada di posisi paling bawah dalam peta ekonomi Sumatera.
Pemadaman listrik yang bertepatan dengan momentum sejarah itu seakan menegaskan bahwa kita sedang dikurung oleh ketergantungan yang dibangun atas nama pembangunan.
Padahal, potensi energi Aceh nyaris tak terbatas. Data resmi menunjukkan Aceh memiliki cadangan PLTA dan PLTMH lebih dari 5.000 MW yang tersebar di 70-an titik sungai. Potensi panas bumi mencapai 1.100-1.300 MWe, termasuk di Geureudong, Seulawah Agam, dan Jaboi di Sabang yang sudah masuk tahap eksplorasi.
Di bidang energi surya, Aceh menyimpan potensi hampir 7.900 MW yang bisa dipanen lewat PLTS atap dan pembangkit komunal. Angin (bayu) diperkirakan bisa menghasilkan 231 MW di kawasan perbukitan dan pesisir, sementara biomassa dan biogas dari limbah pertanian, perkebunan, dan peternakan mencapai 1.100 MW lebih.
Jika dijumlahkan, Aceh punya modal energi bersih lebih dari 15.000 MW, jauh melebihi kebutuhan konsumsi domestik.
Namun kenyataannya, potensi itu lebih sering berhenti di atas kertas. Sebagian besar proyek masih dalam tahap studi atau tersendat karena keterbatasan infrastruktur transmisi dan regulasi.
Draft RUPTL bahkan mencatat bahwa penambahan kapasitas PLTA/PLTM di Aceh terhambat lantaran belum ada jaringan transmisi yang memadai.
Akibatnya, Aceh tetap nyaman bergantung pada listrik impor dari Sumatera Utara, sebuah pilihan pragmatis yang kini terbukti rapuh.
Pemadaman massal ini seharusnya dibaca sebagai peringatan keras, bukan sekadar gangguan sesaat.
Momentum “G30S PLN” bisa menjadi cambuk untuk merancang revolusi kemandirian energi. Energi bukan semata persoalan teknis, melainkan urat nadi kedaulatan ekonomi.
Tanpa listrik yang stabil, jangan harap ada industrialisasi, hilirisasi, atau penguatan UMKM. Selama Aceh tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan energi, selama itu pula Aceh akan terus menjadi daerah pinggiran meski berada di jalur perdagangan dunia, dengan Sabang sebagai pintu gerbang internasional.
Sejak damai ditandatangani di Helsinki, Aceh sejatinya memiliki modal besar untuk melompat maju. Dana otsus yang mengalir tiap tahun seharusnya mampu membangun sentra produksi energi, pangan, hingga industri pengolahan.
Tetapi dana itu lebih banyak habis untuk proyek jangka pendek, birokrasi yang membengkak, dan pembangunan fisik tanpa orientasi masa depan. Maka wajar bila setelah dua dekade, Aceh masih tercatat sebagai salah satu provinsi termiskin di Sumatera.
G30S PLN menyingkap kelemahan struktural itu. Ia memperlihatkan bahwa Aceh tidak pernah serius menggarap potensi dirinya sendiri. Jika listrik saja harus menunggu belas kasihan tetangga, bagaimana mungkin kita bicara tentang kemandirian ekonomi?
Revolusi kemandirian energi harus menjadi agenda politik utama. Tidak cukup sekadar membangun pembangkit, harus ada keberanian membuat peta jalan energi Aceh yang memadukan PLTA, panas bumi, bayu, dan surya.
Harus ada kemauan politik untuk menjadikan energi sebagai instrumen kedaulatan, bukan sekadar proyek tender.
Kegelapan hampir tiga hari itu sebetulnya sebuah metafora. Ia menggambarkan betapa Aceh selama ini berjalan dalam lorong gelap kebijakan yang kaya sumber daya, tapi miskin pemanfaatan.
Sudah waktunya Aceh menyalakan lampu dengan tangannya sendiri, bukan terus berharap pada kabel yang bisa sewaktu-waktu diputus dari luar. Revolusi kemandirian energi bukan pilihan, melainkan keharusan.
Karena dalam dunia modern, bangsa dan daerah yang tak mampu menguasai energinya sendiri, pada hakikatnya masih hidup dalam kegelapan.



