Oleh: Muhammad Saman
“Aceh ini seakan anak tiri di republik sendiri.” Ungkapan ini kerap terdengar di kalangan masyarakat, terutama dalam beberapa bulan terakhir ketika deretan persoalan mendasar terus menghantam provinsi paling barat Indonesia ini.
Mulai dari listrik yang sering terganggu dan kerap padam, antrian panjang bahan bakar minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), hingga gangguan berulang layanan perbankan syariah terbesar di Aceh, PT Bank Syariah Indonesia (BSI).
Warga pun mengeluh, sementara pemerintah pusat terkesan abai dan membiarkan persoalan itu berlarut-larut tanpa solusi nyata.
Krisis Listrik: Lilin Kembali Jadi Primadona
Dalam dua pekan terakhir, Banda Aceh dan sekitarnya kerap gelap gulita di malam hari. Pemadaman bergilir yang dilakukan PLN tidak hanya mengganggu kenyamanan warga, tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi.
“Usaha kecil kami bisa berhenti total kalau listrik padam. Mesin produksi tak jalan, pelanggan marah, tapi PLN hanya bilang ada gangguan sistem,” ujar Safrizal, seorang pelaku UMKM di Peunayong, Banda Aceh.
Pemadaman listrik yang berulang ini membuat Aceh seolah kembali ke masa lalu, ketika lampu minyak dan lilin menjadi penerang utama rumah-rumah warga.
Padahal, Aceh dikenal sebagai daerah penghasil energi: ada PLTU, PLTA, bahkan cadangan gas dan minyak bumi yang melimpah. Ironisnya, listrik justru menjadi barang mewah di Tanah Rencong.
Ulama muda Aceh, Ustadz Masrul Aidi Lc, menilai perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap Aceh.
“Aceh diperlakukan berbeda oleh pemerintah pusat, dibandingkan dengan daerah lain ketika listrik padam,” ungkap Ustadz Masrul Aidi, dalam pernyataannya yang dikutip dari unggahan media sosial, Selasa (30/9).
Ia menyinggung langkah cepat Presiden Prabowo yang langsung meminta maaf saat terjadi blackout atau gangguan listrik di Bali, sementara untuk Aceh justru terkesan diam.
“Aceh ini dulu daerah modal kemerdekaan. Tapi setelah 80 tahun merdeka, masih diperlakukan seperti rakyat kelas dua. Saat Bali padam, Presiden langsung minta maaf. Tapi saat Aceh padam, tak ada suara,” tegas Ustadz Masrul, yang juga pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keu’eung, Aceh Besar.
Menurutnya, ketidakadilan ini semakin menambah panjang daftar keluhan rakyat Aceh, mulai dari proyek jalan tol Sigli–Banda Aceh yang tak kunjung selesai, lemahnya penegakan syariat Islam, hingga pengelolaan dana otonomi khusus (otsus) yang lebih banyak dinikmati pihak luar daerah.
BBM: Antri Panjang, Warga Putus Asa
Masalah lain yang tak kalah pelik adalah kelangkaan BBM. Hampir setiap SPBU di Aceh dipadati antrean panjang kendaraan, baik roda dua maupun roda empat.
“Sudah dua jam antri, belum tentu dapat. Kalau habis ya harus balik lagi besok,” keluh Rahmad, sopir angkutan umum di Aceh Besar.
Kelangkaan BBM ini menimbulkan keresahan luas. Aktivitas transportasi masyarakat terganggu, ongkos logistik meningkat, dan harga kebutuhan pokok perlahan ikut terdongkrak.
Namun, hingga kini belum ada kepastian dari Pertamina maupun pemerintah pusat mengenai solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah ini.
Pemerhati Kebijakan Publik, Drs Isa Alima, angkat bicara mengenai persoalan ini. Ia mendesak Pertamina segera mengambil langkah cepat dan tepat untuk menormalisasi pasokan BBM di Aceh.
“Antrean panjang di sekitar SPBU membuat badan jalan tersendat. Ini jelas merugikan masyarakat dan dunia usaha. Pertamina harus segera mencari solusi agar distribusi solar tidak terganggu,” kata Isa Alima kepada wartawan, Senin (22/9/2025).
Menurutnya, kelangkaan solar dan Pertalite tidak hanya menghambat mobilitas masyarakat, tetapi juga berdampak serius terhadap sektor transportasi dan logistik.
Truk pengangkut barang yang sulit memperoleh bahan bakar akan mengakibatkan keterlambatan distribusi barang, yang pada akhirnya memicu kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran.
Isa menilai, salah satu penyebab utama kelangkaan adalah tidak meratanya penyaluran solar di sejumlah SPBU.
Ketika ada SPBU yang berhenti menjual solar karena kehabisan stok, maka kendaraan langsung menumpuk di SPBU lain yang masih beroperasi. Situasi ini menyebabkan antrean panjang dan rawan menimbulkan konflik antar-sopir di lapangan.
“Pemerintah harus serius menangani masalah kelangkaan solar ini. Jika dibiarkan berlarut, dampaknya bukan hanya pada kemacetan, tetapi juga akan menghantam sektor ekonomi Aceh. Dunia usaha akan terganggu, distribusi logistik tersendat, dan harga barang kebutuhan masyarakat bisa naik,” tegasnya.
BSI: Perbankan Syariah yang Sering Tumbang
Sementara itu, di sektor keuangan, masyarakat Aceh juga menghadapi persoalan pelik. Sejak diberlakukannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada 2021, hampir seluruh bank konvensional hengkang dari Aceh. Bank Syariah Indonesia (BSI) pun menjadi pemain dominan.
Namun, dominasi ini tak diimbangi dengan kualitas layanan. Hampir setiap pekan, nasabah di Aceh menghadapi gangguan jaringan: transaksi gagal, ATM mati, mobile banking error.
“Uang saya ada, tapi tidak bisa ditarik. Kadang tiga hari baru normal. Bagaimana kalau ada kebutuhan mendesak?” ungkap Nuraini, seorang ibu rumah tangga di Banda Aceh.
Ketergantungan penuh pada BSI membuat masyarakat Aceh tidak punya banyak pilihan. Ketika sistem BSI terganggu, otomatis hampir seluruh transaksi keuangan di Aceh lumpuh.
Pusat Dinilai Abai
Berulangnya persoalan listrik, BBM, dan layanan bank syariah menimbulkan pertanyaan besar: di mana perhatian pemerintah pusat?
“Ini bukan masalah baru. Sudah lama Aceh menjerit soal listrik, energi, dan pelayanan publik. Tapi sampai sekarang tidak ada solusi konkret,” kata pemerhati kebijakan publik Aceh Isa Alima.
Dengan berbagai kondisi miris ini memperkuat kesan bahwa Aceh hanyalah “anak tiri” dalam pembangunan nasional Indonesia
Meski Aceh memberi kontribusi besar lewat sumber daya alamnya, yang kembali ke daerah justru hanya janji-janji tanpa realisasi.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Jika dibiarkan, persoalan ini bukan hanya menurunkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga berbahaya bagi iklim investasi di Aceh.
Investor tentu berpikir dua kali masuk ke daerah yang listriknya tak stabil, BBM langka, dan layanan perbankan sering error.
Di sisi lain, masyarakat kecil menjadi korban paling nyata. UMKM kehilangan pelanggan, nelayan tak bisa melaut karena sulit mendapat solar, sementara warga kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat naiknya biaya transportasi.
Masyarakat Aceh kini menunggu sikap nyata pemerintah pusat. Apakah tetap membiarkan persoalan ini berlarut-larut, atau turun tangan langsung dengan langkah konkret?
“Kalau Aceh terus diperlakukan seperti ini, wajar saja muncul rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat,” kata seorang tokoh masyarakat di Banda Aceh.
Aceh butuh keadilan, bukan janji. Butuh perhatian nyata, bukan sekadar kunjungan pejabat yang hanya datang saat ada bencana atau seremoni.
Deretan persoalan yang menimpa Aceh hari ini—listrik, BBM, perbankan—bukan sekadar masalah teknis. Ini adalah cermin dari lemahnya perhatian negara terhadap daerah yang telah banyak berkorban dan berkontribusi bagi republik.
Jika pemerintah pusat terus abai, label “Aceh anak tiri Republik” bukan lagi sekadar sindiran, tetapi kenyataan pahit yang dirasakan sehari-hari oleh masyarakat Tanah Rencong.



