Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Penambang Rakyat di Aceh Jadi Korban Kriminalisasi Akibat Kekosongan Regulasi

Sektor pertambangan rakyat di Aceh masih berjalan di ruang gelap hukum. Kekayaan alam terutama emas, pasir dan mineral ikutan lainnya, masih lebih banyak digarap tanpa payung hukum pasti. (Foto: Ist)

Banda Aceh, Infoaceh.net — Hampir dua dekade setelah Aceh memperoleh kekhususan melalui Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), sektor pertambangan rakyat masih berjalan di ruang gelap hukum.

Kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Aceh, terutama emas, pasir, dan mineral ikutan lainnya, masih lebih banyak digarap tanpa payung hukum yang pasti.

Wakil Ketua DPW Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Provinsi Aceh Delky Nofrizal Qutni mengungkapkan, ribuan penambang rakyat dari berbagai daerah di Aceh beroperasi dalam ketidakpastian legalitas, di mana negara kehilangan potensi fiskal sementara masyarakat kecil hidup di bawah bayang-bayang kriminalisasi.

Kondisi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan konsekuensi dari disharmoni regulasi antara Undang-undang Minerba dan UUPA.

Melalui UU Nomor 3 Tahun 2020, pemerintah pusat menarik kewenangan perizinan ke Jakarta, sedangkan Aceh, yang semestinya mampu memanfaatkan kekhususannya untuk melengkapi regulasi daerah, belum memiliki instrumen hukum yang memadai.

“Kekosongan regulasi inilah yang memicu maraknya penambangan tanpa izin (PETI), konflik sosial di lapangan, serta kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan,” ujar Delky Nofrizal Qutni yang juga Ketua DPC APRI Kabupaten Aceh Selatan, dalam keterangannya, Senin (6/10).

Menurutnya, dalam situasi inilah gagasan penyusunan Qanun Aceh tentang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) menjadi sangat penting.

Qanun bukan sekadar produk hukum daerah, melainkan jembatan untuk menyelaraskan kewenangan antara pusat dan Aceh, serta memberikan kepastian hukum bagi puluhan ribu penambang rakyat yang selama ini bekerja di wilayah yang secara sosial diakui, tetapi secara hukum diabaikan.

Perbedaan tafsir antara pemerintah pusat dan Aceh sejak lama menjadi akar persoalan. Pasal-pasal dalam UU Minerba menyebutkan bahwa penetapan wilayah pertambangan rakyat dilakukan oleh pemerintah pusat berdasarkan usulan daerah.

Artinya, Bupati maupun Gubernur tidak lagi berwenang menerbitkan izin. Kondisi ini bertolak belakang dengan Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 j.o. Qanun Aceh Nomor 15 tahun 2017 yang pernah memberikan ruang bagi kepala daerah menetapkan izin pertambangan.

Akibatnya, ribuan penambang rakyat akan terjebak dalam status abu-abu dimana mereka bekerja di tambang yang secara de facto sah secara sosial, namun secara de jure ilegal di mata negara.

Masalah yang sama juga terjadi pada pengelolaan batuan. Regulasi pusat tidak secara tegas menjelaskan siapa yang berwenang mengurus izin SIPB, sementara di lapangan, izin yang tumpang tindih kerap terjadi.

Banyak pelaku usaha kecil yang harus mengurus berlapis dokumen dari sistem OSS hingga rekomendasi daerah, namun akhirnya tetap menghadapi penolakan.

Penambang tanpa modal besar akhirnya memilih jalur pintas yakni menggali tanpa izin dan menjual hasilnya melalui jalur informal.

Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen aktivitas tambang rakyat di Aceh berlangsung di luar mekanisme hukum formal.

Angka ini mencerminkan bukan hanya lemahnya pengawasan, tetapi juga kegagalan negara menghadirkan solusi.

Ketika aparat turun ke lapangan tanpa disertai pendekatan pembinaan, penambang rakyat justru menjadi korban kriminalisasi.

Alat kerja disita, pekerja ditangkap, dan sumber penghidupan keluarga lenyap. Negara yang seharusnya menjadi fasilitator legalitas justru tampil sebagai alat represi.

Dalam konteks disharmoni inilah Qanun Aceh menemukan relevansinya. Qanun bukan untuk menggantikan kewenangan pusat, tetapi menjadi pelengkap dalam tata kelola pertambangan rakyat. Ia dapat mengatur proses pra-perizinan, mekanisme verifikasi, serta sistem pembinaan dan pengawasan yang melibatkan pemerintah daerah.

Dengan demikian, setiap permohonan IPR atau SIPB dari Aceh yang diajukan ke pusat telah melalui penyaringan teknis dan sosial di tingkat lokal. Langkah ini penting untuk menekan angka penolakan, mempercepat birokrasi, dan mengurangi biaya transaksi yang selama ini membebani penambang kecil.

Qanun juga dapat mengatur batasan luas lahan, masa berlaku izin yang proporsional, serta memberikan kejelasan terhadap mineral ikutan seperti perak atau logam lain yang bernilai ekonomi, agar hasil ikutan tersebut tidak lagi dianggap ilegal.

Lebih jauh qanun harus mengatur pembinaan tambang rakyat sebagai kewajiban pemerintah daerah. Dana bagi hasil PNBP yang diterima Aceh bisa dialokasikan sebagian untuk pelatihan teknis, penerapan teknologi ramah lingkungan, dan fasilitasi reklamasi pascatambang.

Qanun juga wajib menjamin bahwa tidak ada pungutan ganda di luar ketentuan pusat. Royalti dan iuran tetap sudah diatur dalam regulasi nasional, sehingga pungutan daerah hanya boleh dilakukan atas dasar layanan nyata seperti pengujian laboratorium atau sertifikasi teknis.

Dalam hal pengawasan, Qanun mesti memberi mandat jelas kepada Dinas ESDM Aceh sebagai otoritas utama, di mana penindakan administratif cukup dilakukan di tingkat daerah tanpa harus menyeret penambang ke ranah pidana.

Aparat penegak hukum sebaiknya hanya dilibatkan bila terjadi pelanggaran serius, bukan untuk menakut-nakuti rakyat kecil.

Pertanyaan mendasar hari ini adalah apakah pemerintah Aceh dan DPRA memiliki keberanian politik untuk mewujudkan Qanun ini menjadi kenyataan. Kekhususan Aceh bukan sekadar simbol politik, melainkan peluang untuk membangun tata kelola yang adil dan berdaulat.

Gubernur Aceh harus memimpin inventarisasi wilayah pertambangan rakyat dan menyiapkan dokumen resmi untuk diajukan ke pemerintah pusat, sementara DPRA perlu menjadikan penyusunan Qanun IPR-SIPB sebagai prioritas legislasi, bukan agenda pinggiran.

Aceh juga perlu membentuk unit teknis khusus yang menangani tambang rakyat agar pelaksanaan Qanun tidak berhenti di atas kertas. Kolaborasi dengan perguruan tinggi, lembaga riset, dan masyarakat sipil juga penting untuk memperkuat kapasitas teknis dan memastikan kelestarian lingkungan.

Jika langkah ini berani diambil, Qanun Aceh tentang IPR dan SIPB akan menjadi preseden nasional bahwa kekhususan daerah dapat menghadirkan keadilan hukum dan manfaat ekonomi bagi rakyat.

Namun jika keberanian itu tak kunjung muncul, lubang-lubang tambang rakyat akan terus menjadi simbol ironi tentang tanah yang kaya namun membuat rakyatnya miskin, serta kekhususan yang dijanjikan namun tak pernah benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari.

author avatar
Hasrul
Jurnlias Infoaceh.net

Kasih Komentar

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

Lainnya

Data kontak yang digunakan pelaku, lengkap dengan foto profil dan nama Nasir Nurdin, Ketua PWI Aceh. (Foto: Tangkapan layar)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tutup