Sabang, Infoaceh.net — Langit biru Sabang memantulkan kilau laut yang menenangkan. Angin asin berhembus lembut, mengantarkan aroma laut yang berpadu dengan wangi tanah basah selepas hujan malam tadi.
Dari dermaga Balohan hingga pesisir Iboih, kehidupan berjalan tenang seperti biasa. Namun di balik ketenangan itu, Sabang tengah melangkah menuju babak baru, babak di mana kebersihan dan kesehatan lingkungan tak lagi sekadar slogan, tetapi menjadi komitmen bersama.
Langkah itu dimulai dari lahirnya Qanun Kota Sabang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik. Sebuah regulasi yang tidak hanya berbicara tentang aturan, tapi tentang masa depan.
Tentang bagaimana sebuah pulau kecil di ujung barat Indonesia ingin menata diri dengan cara yang lebih beradab menghormati alam sebagai bagian dari kehidupan.
Dari Regulasi ke Gerakan Nyata
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Sabang, Magdalaina berbicara dengan nada tegas namun hangat. “Qanun ini adalah langkah awal, bukan akhir. Kami tidak ingin aturan ini berhenti di kertas. Kami ingin melihat perubahan di lapangan di rumah, di gampong, di setiap sudut kota.”
Bagi DPRK, lahirnya qanun ini adalah hasil perjuangan panjang, tetapi yang lebih penting adalah hasil akhirnya bagaimana masyarakat Sabang menjalankannya dengan kesadaran, bukan keterpaksaan.
Mereka ingin melihat setiap rumah memiliki sistem pengelolaan air limbah sendiri.
Setiap selokan bersih, setiap sumur tidak tercemar, dan setiap tetes air yang kembali ke bumi membawa kehidupan, bukan penyakit.
Politisi Partai Aceh itu menekankan, keberhasilan qanun ini bukan diukur dari jumlah sosialisasi, melainkan dari perubahan perilaku.
Dari rumah-rumah yang kini mulai membangun tangki septik sesuai standar, hingga masyarakat yang paham arti penting memisahkan air hujan dari limbah domestik.
“Ke depan, Sabang memiliki sistem pengelolaan limbah terpusat di kawasan padat, serta layanan penyedotan tinja terjadwal di seluruh gampong. Semua diarahkan untuk satu hal yakni mewujudkan kota yang bersih, sehat, dan berkelanjutan,” ujar tokoh politik wanita yang kini Ketua DPRK Kota Sabang, Sabtu (11/10).
Menurutnya, Qanun ini juga menegaskan tentang larangan bagi siapa pun yang membuang limbah ke perairan umum atau membuat saluran pembuangan ilegal. Namun, menurut Magdalaina, sanksi bukan tujuan.
“Yang kami harapkan bukan rasa takut pada hukum, tapi lahirnya cinta pada kebersihan. Sabang harus menjadi contoh, bahwa hukum bisa melahirkan kesadaran ekologis, bukan sekadar ketertiban.” Katanya.
Menjaga Warna Biru Laut dan Harapan
Sabang selalu dikenal karena lautnya yang menawan. Di Pulau Rubiah, air sejernih kaca menyingkap warna-warni terumbu karang yang memikat.
Namun di tengah keindahan itu, ancaman tak kasat mata mengintai. Limbah rumah tangga yang mengalir tanpa pengolahan perlahan mencemari laut dan merusak ekosistem yang rapuh.
Karena itulah DPRK Sabang melihat urgensi qanun ini bukan hanya sebagai urusan teknis, tapi penyelamatan jangka panjang bagi ekologi dan pariwisata Sabang.
Melalui qanun tersebut, pemerintah daerah wajib memastikan tidak ada lagi air limbah rumah tangga yang mengalir ke laut tanpa pengolahan.
Hotel, rumah makan, dan fasilitas publik kini diwajibkan memiliki sistem pengelolaan limbah sendiri.
Langkah ini diharapkan mampu mempertahankan pesona Sabang yang menjadi magnet wisata dunia. “Kita ingin laut Sabang tetap biru, ikan tetap hidup dan wisatawan tetap datang,” kata Magdalaina penuh keyakinan.
Namun lebih dari itu, DPRK melihat peluang baru di balik kebijakan ini yaitu lahirnya ekonomi sirkular berbasis lingkungan.
Limbah yang diolah dapat berubah menjadi pupuk, bahan bangunan, bahkan sumber energi alternatif. Dari sesuatu yang dulu dianggap kotor, kini bisa lahir manfaat bagi kehidupan.
Inilah perubahan paradigma yang diinginkan legislatif: dari membuang menjadi memanfaatkan, dari mencemari menjadi menghidupi.
Menuju Budaya Baru: Sabang yang Sadar dan Beradab
Qanun ini tidak sekadar mengatur perilaku, tapi membangun budaya baru. Budaya di mana masyarakat tidak lagi memandang air limbah sebagai sesuatu yang remeh, melainkan sebagai tanggung jawab bersama.
DPRK mendorong pemerintah kota untuk membawa semangat qanun ini ke setiap ruang kehidupan. Mulai dari ruang kelas hingga balai gampong, dari pertemuan komunitas hingga kampanye di media sosial.
Sekolah-sekolah akan menjadi tempat awal menanamkan nilai kebersihan lingkungan, sementara gampong diarahkan menjadi “Gampong Sadar Lingkungan”.
Melalui kegiatan gotong royong, lomba kebersihan, dan pelatihan warga, kesadaran itu diharapkan tumbuh perlahan menjadi kebiasaan. Di jalan-jalan sempit, di halaman rumah, di tepian pantai di sanalah wajah nyata Sabang yang baru akan terlihat.
Bagi DPRK, keberhasilan qanun bukan tentang seberapa banyak aturan ditegakkan, melainkan seberapa dalam ia meresap dalam kehidupan masyarakat. Sebab menjaga kebersihan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal harga diri dan identitas.
Sabang, bagi para wakil rakyatnya, bukan hanya titik di peta, tapi simbol peradaban yang sedang tumbuh. Kota kecil yang berani melawan kebiasaan lama demi masa depan yang lebih hijau.
“Qanun ini adalah komitmen moral,” ujar Magdalaina menutup sosialisasi dengan pandangan ke laut lepas.
Di ufuk barat, matahari perlahan tenggelam di balik laut yang masih biru. Ombak berdebur lembut seolah menyetujui arah baru Sabang. Dari kota kecil yang indah menjadi kota yang sadar, bersih, dan beradab.
Qanun Air Limbah Domestik kini bukan sekadar aturan tertulis, tetapi cermin tekad legislatif dan masyarakat untuk menulis ulang hubungan mereka dengan alam.
Sebuah langkah kecil dari pulau terluar, namun dengan gema besar bagi masa depan negeri ini. Sebab di Sabang, kebersihan bukan lagi sekadar tugas ia telah menjadi identitas dan kebanggaan.