Paya Bakong, Infoaceh.net — Di tepi jalan berbatu Gampong Pante Bahagia, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, sebuah bengkel kecil berdiri sederhana di depan rumah papan beratap seng.
Dari dalamnya, suara kunci pas sesekali terdengar berpadu dengan desis angin yang datang dari bukit.
Di sanalah Halimah (43), perempuan yang akrab disapa Kak Limah, bekerja setiap hari memperbaiki motor milik warga.
Bagi masyarakat sekitar, Kak Limah bukan sekadar montir perempuan. Ia adalah sosok tangguh yang mewakili kisah panjang perempuan Aceh pascakonflik — mereka yang tidak hanya pernah menjadi saksi, tetapi juga bagian dari perjuangan.
Pertemuan Dua Perempuan Tangguh
Selasa (14/10/2025) siang, suasana bengkel Kak Limah terasa berbeda. Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Marlina Usman atau Kak Na, datang bersilaturrahmi.
Mobil rombongan berhenti di depan bengkel yang sederhana itu, disambut pandangan heran beberapa warga yang melintas.
“Assalamu’alaikum Kak Limah, peu neupeuget nyan?” sapa Kak Na ramah sambil mendekat.
(Assalamu’alaikum Kak Limah, sedang perbaiki apa?)
Kak Limah yang tengah berjongkok di samping motor bebek warna merah muda, segera berdiri. Tangannya yang masih berlumur oli ia seka dengan kain lusuh di bahu.
“Wa’alaikumsalam, itamong ie bak meusen baroe, lon bongkar siat,” jawabnya sambil tersenyum.
(Wa’alaikumsalam, masuk air ke mesin, sedang saya bongkar.)
Senyum keduanya merekah, mencairkan suasana. Tak ada jarak antara istri seorang gubernur dengan perempuan pekerja di pedalaman Aceh Utara itu.
Dulu Cuci Baju Pejuang, Kini Perbaiki Mesin Hidup
Dalam percakapan ringan itu, tersingkap kisah masa lalu Kak Limah. Saat konflik bersenjata melanda Aceh, ia dikenal di kalangan kombatan GAM sebagai sosok yang tak kenal takut. Rumahnya sering menjadi tempat persinggahan para pejuang yang turun gunung untuk sekadar mandi, mencuci pakaian, atau menikmati sepiring nasi hangat.
“Waktu itu hidup sulit. Tapi kalau mereka datang, saya bantu. Saya masak, cuci baju, apa saja yang bisa saya lakukan. Karena saya pikir, mereka berjuang untuk kita juga,” kenang Kak Limah sambil menunduk.
Ia tak pernah membawa senjata, tak pernah ikut pertempuran. Tapi pengabdian kecilnya — memasak, mencuci, menyembunyikan kabar — adalah bagian penting dari perjuangan itu.
“Saya hanya ingin membantu. Tidak pernah minta imbalan,” tambahnya lirih.
Suaminya, Kade (58), yang dulu juga terlibat dalam perjuangan, kini mengalami cedera permanen di tangan. Meski masih bisa bekerja, gerakannya terbatas. “Sekarang saya yang jadi pemain utama di bengkel,” kata Kak Limah dengan tawa kecil.
Kemandirian yang Tumbuh dari Luka Lama
Setelah perdamaian tercapai, Kak Limah tidak ingin terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia memilih bekerja keras, memanfaatkan keterampilan tangan untuk menyambung hidup.
“Hebat istri bapak ya, serba bisa,” ujar Kak Na sambil menatap bangga.
Kak Limah tersenyum malu, lalu menjawab dengan logat khas Aceh Utara: “Leu that, rah baje, pasang keramik jeut, peuget layang jeut ciet. Nyan layang lon peuget. Lon publoe ciet.”
(Banyak, cuci baju bisa, pasang keramik bisa, buat layangan juga bisa. Itu layangan buatan saya, saya jual juga.)
Ia kemudian menunjukkan beberapa layang-layang warna-warni yang tergantung di dinding bengkel. Hasil kreativitas tangannya itu kerap dibeli anak-anak kampung untuk bermain di sawah belakang rumah.
“Kadang terjual tiga atau empat sehari. Kalau lagi ramai, bisa dapat uang tambahan,” katanya bangga.
Kak Na tampak terharu melihat semangat itu. “Perempuan seperti Kak Limah membuktikan bahwa perdamaian sejati itu hidup di hati rakyat kecil — mereka tidak menuntut, hanya bekerja dan terus berbuat,” ujarnya.
Silaturahmi yang Tak Pernah Putus
Ketika ditanya apakah para mantan kombatan yang dulu ia bantu masih datang, Kak Limah mengangguk pelan.
“Masih sering datang bersilaturrahmi. Kadang cuma duduk, minum kopi, cerita masa lalu. Saya senang kalau mereka datang, berarti masih ingat,” tuturnya.
Ia menambahkan dengan nada lembut namun penuh makna, “Yang saya mau, teman-teman jangan sombong. Kalau jumpa, sapa-sapa saja, itu sudah cukup. Melihat mereka sehat, masih hidup, dan sukses saja saya sudah bahagia.”
Kata-kata itu membuat suasana hening sejenak. Di wajah Kak Limah, terlihat jelas ketulusan yang jarang ditemukan. Ia tidak menuntut apa pun dari masa lalunya, tidak pula menyesali apa yang telah berlalu. Yang tersisa hanyalah semangat hidup dan rasa syukur.
Bengkel Kecil, Cermin Perdamaian Besar
Kini, bengkel Kak Limah bukan sekadar tempat memperbaiki motor. Ia menjadi tempat bernaung, tempat cerita dan simbol perdamaian yang lahir dari tangan-tangan rakyat biasa.
Kak Na yang datang berkunjung pun mengagumi sosok Kak Limah. “Aceh butuh lebih banyak perempuan seperti Kak Limah,” katanya menutup pertemuan. “Mereka tidak hanya kuat bekerja, tapi juga kuat menjaga perdamaian.”
Sore itu, rombongan PKK Aceh pamit meninggalkan Pante Bahagia. Kak Limah kembali ke bengkelnya, mengambil kunci pas, dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Di bawah cahaya senja, perempuan itu kembali membetulkan mesin — seolah sedang memperbaiki sesuatu yang lebih besar dari sekadar kendaraan: mesin kehidupan dan perdamaian Aceh.