Banda Aceh, Infoaceh.net – Fenomena pria bercelana pendek di ruang publik Banda Aceh kini semakin marak dan memunculkan sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Meski Aceh dikenal sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam secara formal melalui qanun, namun penegakan aturan terkait etika berpakaian—khususnya bagi laki-laki—dinilai melemah.
Pantauan Infoaceh.net di berbagai titik pusat keramaian seperti Lapangan Blang Padang, kawasan Ulee Lheue, hingga sejumlah jalan protokol dan di pemberhentian lampu merah, memperlihatkan banyak pria yang dengan bebas mengenakan celana pendek saat berolahraga atau berkendara sepeda motor.
Bahkan, di beberapa persimpangan lampu merah, pemandangan ini menjadi hal yang sudah biasa tanpa adanya teguran dari aparat Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (PP-WH).
Minim Penindakan, Pemko Banda Aceh Hanya Sebatas Himbauan
Pemerintah Kota Banda Aceh di bawah kepemimpinan Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal dan Wakil Wali Kota Afdhal Khalilullah, sejauh ini hanya sebatas mengeluarkan imbauan di baliho dan media sosial, agar masyarakat berpakaian Islami dan menjaga adab di ruang publik.
Namun, hingga pertengahan Oktober 2025, belum terlihat adanya razia atau operasi rutin yang dilakukan Satpol PP-WH untuk menegakkan Qanun Syariat Islam terkait batasan aurat bagi pria.
Berbeda halnya dengan Satpol PP-WH Aceh Besar yang rutin melakukan razia penegakan busana Islami, dan banyak pria bercelana pendek.
Kondisi tersebut di kota Banda Aceh membuat sebagian masyarakat menilai pemerintah kota seolah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran yang terjadi di depan mata.
Banyak yang mempertanyakan mengapa Satpol PP-WH tidak turun langsung ke lapangan, sebagaimana dulu pernah rutin dilakukan dalam operasi penertiban berpakaian Islami.
“Kalau hanya himbauan, tidak akan cukup. Harus ada tindakan nyata,” ujar seorang warga Ulee Kareng, Rabu (15/10).
“Dulu waktu awal-awal penerapan syariat, orang masih takut pakai celana pendek di Banda Aceh. Tapi sekarang sudah biasa saja, seolah tidak ada lagi penegakan hukum bagi mereka yang melanggar,” ungkapnya.
Sorotan dan kritik keras datang dari Ustadz Masrul Aidi, Lc, ulama muda Aceh yang juga pimpinan Dayah Babul Maghfirah Cot Keu’eung, Kuta Baro, Aceh Besar.
Dalam berbagai kesempatan ceramah dan unggahan di media sosialnya, Ustadz Masrul Aidi menilai bahwa maraknya pria bercelana pendek di Banda Aceh bukan karena ketidaktahuan masyarakat terhadap hukum Islam, melainkan karena lemahnya penegakan aturan oleh pemerintah kota maupun provinsi.
“Mereka itu bukan tidak tahu hukumnya haram pria pakai celana pendek. Tapi mereka berani karena tahu di Banda Aceh tidak ada tindakan hukum dari pemerintah dan aparaturnya Satpol PP-WH,” tegas Ustadz Masrul, Rabu (15/10).
“Satpol PP-WH jangan hanya duduk di kantor. Mereka harus turun ke jalan-jalan, ke lapangan, menegur langsung para pria yang memakai celana pendek di tempat umum. Berdirilah di simpang lampu merah, tegur mereka, dan ambil tindakan tegas,” tambahnya.
Menurutnya, jika dibiarkan, hal ini akan mencoreng nilai-nilai syariat Islam yang menjadi identitas utama Aceh sebagai daerah istimewa di Indonesia.
“Kalau tidak ada tindakan, lama-lama syariat hanya jadi slogan. Ini ibu kota provinsi, harusnya jadi contoh, bukan tempat kemunduran moral,” ujarnya.
Selain menyoroti pemerintah kota, Ustadz Masrul juga mempertanyakan peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), baik tingkat provinsi maupun kota Banda Aceh. Ia menilai lembaga ulama tersebut seharusnya menjadi pihak yang aktif memberikan nasihat dan dorongan moral kepada pemerintah agar serius menegakkan aturan syariat.
Dalam unggahan media sosialnya, ia menuliskan pertanyaan yang menggugah publik: Celana pendek haram. Apa saran MPU kepada pemerintah terkait maraknya pria pamer aurat di ruang publik?
Ia juga menegaskan, diamnya para ulama ketika melihat kemungkaran adalah bentuk kelalaian moral.
“Diam tak bersuara ketika marak kemungkaran di ruang publik, apakah itu tidak haram?” tulisnya.
Kekhawatiran terhadap Citra Syariat Islam
Fenomena ini dinilai bisa menggerus wibawa syariat Islam di Aceh, terutama di Banda Aceh yang menjadi barometer penerapan Qanun Syariat bagi kabupaten dan kota lainnya.
Sejumlah kalangan dayah dan ormas Islam juga mulai menyerukan agar Pemko Banda Aceh segera melakukan langkah nyata, bukan sekadar wacana.
Beberapa tokoh menilai, jika penegakan syariat hanya diterapkan setengah hati melalui himbauan saja, masyarakat akan kehilangan rasa hormat terhadap hukum Islam itu sendiri.
“Kalau hukum tidak dijalankan secara adil dan konsisten, masyarakat akan menilai syariat hanya berlaku bagi yang lemah,” ujar seorang pengamat sosial keislaman dari UIN Ar-Raniry.
Selain penegakan hukum, sejumlah pihak juga mendorong agar pemerintah melakukan pendekatan edukatif.
Penegakan Qanun, kata mereka, seharusnya dibarengi dengan penyuluhan di sekolah, kampus, dan tempat olahraga agar masyarakat memahami batasan aurat dan adab berpakaian Islami sesuai syariat.
Seperti diatur dalam Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Namun, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Wali Kota Banda Aceh maupun Kasatpol PP-WH terkait maraknya fenomena tersebut dan kritik dari kalangan ulama.
Jika pembiaran ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin Banda Aceh akan kehilangan jati dirinya sebagai Serambi Mekkah, dan nilai-nilai syariat Islam yang selama ini dijaga dengan susah payah akan perlahan memudar di tengah masyarakat urban yang semakin permisif.