Jakarta, Infoaceh.net — Proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) warisan mantan Presiden Joko Widodo kembali jadi sorotan.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Handi Risza, menilai penyelesaian utang proyek ini harus dilakukan hati-hati karena berisiko membebani APBN.
“Sejak awal proyek dijanjikan berjalan sepenuhnya dengan skema business to business (B2B) tanpa melibatkan APBN. Namun, seiring pembengkakan biaya, pemerintah justru menerbitkan PMK No. 89 Tahun 2023 yang mengizinkan penggunaan APBN sebagai jaminan pinjaman,” ujar Handi, Jumat (17/10/2025).
Proyek KCIC yang dimulai sejak 2016 telah menelan biaya US$7,27 miliar (Rp110,16 triliun) dengan pembengkakan biaya US$1,2 miliar (Rp18,36 triliun). China Development Bank memberikan pinjaman tambahan US$560 juta (Rp8,3 triliun) dengan bunga 3,4 persen untuk menutup cost overrun. Handi khawatir penggunaan APBN sebagai jaminan dan usulan perpanjangan konsesi dari 50 menjadi 80 tahun akan membebani keuangan negara.
“PKS menilai opsi restrukturisasi utang tanpa menggunakan APBN adalah pilihan terbaik, karena pemerintah fokus pada sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat,” tegas Handi. Ia menambahkan, dampak ekonomi jangka panjang KCIC belum sebanding dengan biaya dan utang yang ditanggung negara.
KPK Siap Selidiki Dugaan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi dugaan pembengkakan anggaran KCIC yang diungkap mantan Menko Polhukam Mahfud MD dalam sebuah podcast. Mahfud menyebut perbedaan signifikan antara estimasi biaya pemerintah Indonesia, US$52 juta per kilometer, dan versi Cina, US$17–18 juta per kilometer.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mendorong masyarakat yang memiliki informasi terkait dugaan korupsi untuk melapor melalui kanal resmi KPK dengan data pendukung agar proses verifikasi akurat. Laporan bisa ditindaklanjuti melalui jalur penindakan, pencegahan, edukasi, atau koordinasi sistem internal.
Budi menekankan penghitungan potensi kerugian negara berada di tangan auditor resmi seperti BPK atau BPKP. “Informasi yang berkembang saat ini masih dugaan awal dan perlu bukti yang jelas,” katanya.
Dalam podcast, Mahfud juga menyoroti bunga utang proyek Whoosh yang mencapai Rp2 triliun per tahun, sementara pemasukan dari tiket diperkirakan maksimal Rp1,5 triliun. Ia menekankan perubahan skema pembiayaan dari Jepang berbunga 0,1 persen menjadi Cina US$5,5 miliar berbunga 3,4 persen akibat pembengkakan biaya.
Handi mengingatkan pemerintah agar berhati-hati terhadap proyek ambisius yang berbiaya besar dan berisiko tinggi. “Bunga utang tinggi bisa menjadi beban APBN setiap tahun dan menjadi jebakan utang bagi masa depan bangsa,” tandasnya.