Takengon, Infoaceh.net — Sebuah kolaborasi lintas kampus antara Universitas Syiah Kuala (USK), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) berhasil melahirkan inovasi arsitektur berbasis kearifan lokal Gayo.
Proyek yang diberi nama Inovasi Rumah Bambu Berbasis Budaya Gayo (IRBG) ini dikembangkan sebagai model penginapan skala kecil (cottage) yang ramah lingkungan di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah.
Program ini merupakan bagian dari Pengabdian Masyarakat Kolaborasi Indonesia (PMKI) Skema A Tahun 2025, yang dilaksanakan sejak 17 September hingga 15 Oktober 2025 di Desa Genuren, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah.
Ketua tim kegiatan, Dr Ir Elysa Wulandari MT dari Fakultas Teknik USK, menjelaskan proyek ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan pemerintah Kecamatan Bintang. Pembukaan kegiatan dihadiri Camat Bintang, unsur Muspika, serta tokoh masyarakat Desa Genuren.
“Pembangunan ini diharapkan memperkuat fungsi Umah Pitu Ruang yang sedang dikembangkan sebagai pusat riset dan pelestarian arsitektur vernakular Gayo,” ujar Elysa, Sabtu (18/10).
Tim kolaborasi ini terdiri dari sejumlah dosen dari tiga kampus. Dari USK terlibat Dr Elysa Wulandari, Dr Sylvia Agustina ST MSc MUP dan Masdar Djamaluddin ST MT.
ITB mengirimkan Dr Andry Widyatmoko ST MEng serta Rahmat ST MT, sementara UPI diwakili Prof Dr Asep Yudi Permana SPd MDes dan Dr Juang Akbardin ST MT.
Sebanyak 35 peserta ikut berpartisipasi, terdiri dari 14 mahasiswa program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang juga melaksanakan KKN tematik, serta 8 sukarelawan dari Komunitas Arsitek Muda Aceh (AMA).
Kegiatan diawali pelatihan ketukangan bambu selama tiga hari, dilanjutkan dengan pembangunan struktur bangunan berskala penuh seluas 24 meter persegi.
Tim ITB fokus pada eksplorasi struktur bambu, sementara UPI menitikberatkan pada rancangan interior dan estetika dekoratif.
Cottage Dua Lantai Terinspirasi Umah Pitu Ruang
Rumah yang dibangun merupakan cottage dua lantai berukuran 25 meter persegi, terinspirasi dari konsep tradisional Umah Pitu Ruang (UPR) — rumah khas masyarakat Gayo yang terdiri atas lepo, serami, dan kamar.
Untuk menyesuaikan kebutuhan masa kini, ditambahkan fasilitas toilet di bagian belakang.
Atap bangunan dirancang berlapis di sisi samping guna melindungi material bambu dari hujan dan memperpanjang usia struktur.
Proses pembangunan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pembuatan konstruksi utama dari bambu Lutung berdiameter 15 cm, pemasangan interior ruang, serta pembuatan elemen dekoratif seperti meja, kursi, dan aksesoris bambu.
Menurut Dr. Elysa, hasil kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga menjadi rujukan riset dan pembelajaran bagi mahasiswa.
“Melalui proyek ini, kami ingin menumbuhkan rasa bangga terhadap potensi lokal, serta menunjukkan bahwa bambu dapat menjadi bahan bangunan modern yang kuat dan estetis,” ungkapnya.
Ia menambahkan, inovasi ini berpotensi menjadi model pembangunan ramah lingkungan untuk mendukung pariwisata berkelanjutan di kawasan Danau Laut Tawar dan Takengon.
Kolaborasi antara perguruan tinggi, masyarakat, komunitas arsitek, dan pemerintah daerah diharapkan mampu mempercepat pengembangan arsitektur berkarakter budaya Gayo, sekaligus memperkuat identitas lokal di tengah arus modernisasi.