Banda Aceh, Infoaceh.net –Belanja dan pengelolaan anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dinilai tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat saat ini yang tengah kesulitan.
Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, Ahad (26/10/2025), menyebut praktik pembahasan anggaran di DPRA kian jauh dari semangat transparansi dan keadilan sosial.
Menurut Nasruddin, masyarakat kini sudah cerdas dan tidak mudah lagi dibodohi, apalagi di era keterbukaan informasi publik.
“Publik dapat melihat langsung kegiatan di Sekretariat DPRA, dari satu item ke item lain. Mereka membaca dan menilai sendiri ke mana uang rakyat itu dibelanjakan,” ujarnya.
Ia menyoroti sejumlah pos belanja yang dianggap tidak wajar, seperti rehab rumah dinas, pakaian dunas, lemari pakaian, ranjang tidur, hingga pengadaan baju safari dengan nilai yang dinilai “fantastis”.
“Para wakil rakyat seolah tidak peka dengan keadaan rakyat yang sedang susah. Mereka justru menghamburkan uang rakyat hingga ratusan miliar rupiah,” kata Nasruddin.
Nasruddin juga mempertanyakan bagaimana anggaran besar dan tidak wajar tersebut bisa disahkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA).
Ia menuding telah terjadi “kompromi” antara eksekutif dan legislatif dalam proses pembahasan anggaran.
“Ketika eksekutif dan legislatif sudah bersekongkol, maka pembahasan di DPRA hanya seremonial belaka,” tegasnya.
Ia menilai, minimnya perdebatan dalam pembahasan APBA Aceh disebabkan karena banyak hal telah disepakati di luar sidang resmi.
“Para wakil rakyat sudah dininabobokkan dengan paket-paket pokir. Dana pokir dijadikan barter sehingga eksekutif mulus mengusulkan anggaran di SKPA masing-masing, meski kegiatan itu tidak menyentuh kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.
Sebagai contoh, Nasruddin menyinggung sejumlah kegiatan di Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang nilainya fantastis namun dinilai tidak berdampak langsung bagi rakyat.
“Ada pengadaan kain gorden Rp3 miliar, pakaian dinas dan lemari Rp2,8 miliar, papan informasi di Rp3 miliar dan banyak lagi,” katanya.
Ia juga menyinggung mahalnya biaya operasional pendopo gubernur dan wakil gubernur, serta fasilitas mewah yang dinikmati pejabat, sementara program penting justru tertunda.
“Rumah untuk rakyat miskin batal dibangun 537 unit, Rumah Sakit Regional Aceh Selatan gagal tender dengan alasan tak cukup waktu, padahal anggaran sudah disahkan sejak awal tahun,” tutur Nasruddin.
APBA 2026 Dinilai Tak Akan Berubah
TTI pesimistis APBA 2026 akan jauh berbeda jika pola lama tetap dipertahankan. Menurut Nasruddin, modusnya sama: kegiatan yang diusulkan lewat musrenbang justru diabaikan, sementara program atas nama pokir dewan lebih mudah disetujui karena dianggap menguntungkan pribadi.
“Pokir dijadikan alat transaksi. Cashback bervariasi antara 20–30 persen, dan kini bahkan sudah menjadi rahasia umum. Paket pokir dijual secara terbuka oleh koordinator masing-masing,” ungkapnya.
Di akhir pernyataannya, Nasruddin mengajak para anggota DPRA agar sadar dan kembali pada tugas utama mereka sebagai wakil rakyat.
“Masih ada harapan APBA 2026 berpihak kepada rakyat jika dewan punya hati nurani. Pembahasan dan eksekusi anggaran harus disiplin, kontrak proyek fisik sudah mulai paling lambat April,” ujarnya.
Ia menegaskan wakil rakyat harus menjalankan tiga fungsi utama secara serius: pengawasan (controlling), penganggaran (budgeting), dan legislasi. “Semoga mereka sadar akan tanggung jawab itu,” pungkasnya.



