Banda Aceh, Infoaceh.net – Aceh kembali jadi sorotan nasional. Kali ini bukan karena konflik politik atau bencana alam, tapi karena konser musik yang dilarang atas nama syariat.
Konser yang menghadirkan Slank, D’Masiv, dan Rafly Kande untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda di Banda Aceh tiba-tiba dibatalkan.
Alasannya berubah-ubah — dari retribusi yang belum dibayar, hingga alasan moralitas.
Namun yang membuat publik Aceh bertanya-tanya, di saat konser artis nasional dilarang, panggung hiburan yang menghadirkan penyanyi lokal Bergek justru berjalan tanpa hambatan di Taman Bustanussalatin atau Taman Sari Banda Aceh.
Semula, konser bertajuk Panggung Sumpah Pemuda 2025 itu direncanakan digelar di Lapangan Panahan Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Sabtu sore hingga malam hari (25/10/2025).
Panggung dan sound system sudah disiapkan, baliho sponsor sudah terpasang, bahkan sebagian tiket sudah terjual.
Tapi dua hari sebelum acara, lapangan tiba-tiba digembok oleh petugas Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh.
“Kami sudah urus semua izin, bahkan sudah bayar sewa tahap awal. Tapi lokasi ditutup begitu saja,” kata Fitri Syafruddin, koordinator panitia pelaksana.
“Tidak ada surat pembatalan, hanya perintah lisan. Ini bukan soal izin, ini soal keberpihakan.”
Dispora Aceh berdalih, panitia belum melunasi biaya retribusi sebesar Rp700 juta.
Angka fantastis itu dihitung berdasarkan tarif Rp10.000 per meter per hari untuk area kosong seluas 14.523 meter persegi selama lima hari.
Namun yang janggal, menyewa stadion utama di kompleks yang sama hanya dikenai biaya sekitar Rp8 juta per malam.
Perbandingan yang tak masuk akal — membuat alasan retribusi terasa lebih seperti dalih politik ketimbang persoalan administratif.
Padahal, acara itu bukan konser hiburan biasa. Panitia menggandeng BNN, GRANAT dan Polda Aceh untuk kampanye anti narkoba.
Pesan utamanya jelas: “Pemuda Sehat, Aceh Kuat.” Bahkan Slank yang dikenal kritis terhadap narkoba diundang untuk mengisi segmen Dakwah Musik Positif.
Namun, narasi dakwah itu tidak cukup menenangkan kelompok yang menolak.
Beberapa ormas seperti Suara Gerakan Rakyat Aceh (SUGRA) dan Ikatan Muslimin Aceh Mendaulat (IMAM) menuding konser musik berpotensi melanggar syariat Islam.
“Kami menolak semua kegiatan yang bercampur laki-laki dan perempuan serta mengundang maksiat,” kata Tgk. Abdul Wahid, salah satu tokoh ormas.
“Aceh harus menjaga marwah sebagai Serambi Mekkah.”
Sikap serupa disampaikan Tgk. Muslim At Thahiri, Ketua Ikatan Muslimin Aceh Mendaulat (IMAM), yang juga menolak konser Slank di Banda Aceh dan konser Dewa 19 yang akan digelar di kota Lhokseumawe nanti pada 29 November 2025.
“Kami tidak menolak orangnya, tapi bentuk kegiatannya. Konser bukan bagian dari budaya Aceh,” katanya tegas.
Setelah gelombang penolakan meningkat, para pejabat terkesan menghindar. Tidak ada yang mau disalahkan, tapi hasil akhirnya jelas: konser nasional dibatalkan secara halus.
Pihak panitia mengaku menerima ancaman langsung dari kelompok masyarakat. Ada yang datang dengan nada “menasihati”, ada pula yang mengancam akan “mendatangi lokasi” jika konser tetap digelar.
“Kami tidak mau bentrok. Jadi kami memilih mundur. Tapi ini preseden buruk bagi kebebasan berekspresi,” kata Steffy Burase, istri mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, yang merupakan salah satu penggagas acara.
Ironisnya, konser yang membawa misi sosial dan pesan positif justru dituding sebagai maksiat, sementara acara hiburan lokal yang lebih longgar malah diizinkan.
Panggung Bergek Tetap Bergema
Di malam yang sama ketika konser nasional dibatalkan, Taman Bustanussalatin (Taman Sari) di jantung Kota Banda Aceh justru ramai.
Di depan Kantor Wali Kota Banda Aceh digelar konser musik etnik yang menghadirkan penyanyi lokal Bergek, Cut Keumala dan beberapa grup band daerah.
Penyanyi lokal Bergek tampil memukau lewat lagu-lagu hits seperti Kamera 360, Boh Hate, dan Han Meutuka.
Penonton bercampur — laki-laki dan perempuan berdiri berdampingan, anak muda berswafoto, sebagian berjoget kecil mengikuti irama.
Tidak ada ormas yang datang menegur, tidak ada polisi syariah yang membubarkan. Semua tampak “aman dan sesuai syariat.”
Padahal, dari sisi bentuk, dua acara ini tak jauh berbeda sama-sama menampilkan musik, campur gender, dan digelar di ruang publik.
Hanya satu hal yang membedakan — yang satu menampilkan artis nasional, yang lain musisi lokal.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah moralitas di Aceh kini diukur dari siapa yang tampil, bukan dari apa yang disampaikan?
Seorang Budayawan di Banda Aceh, menyebut ini sebagai bentuk “moralisme selektif”.
“Selama ini musik lokal dianggap budaya, tapi ketika musisi nasional tampil, langsung dicap maksiat. Ini bukan soal agama, ini soal tafsir dan kepentingan,” katanya.
Ia menilai, pemerintah daerah cenderung takut pada tekanan ormas kecil yang mengklaim membawa suara syariat, padahal mayoritas masyarakat Aceh sebenarnya moderat dan terbuka.
“Ketika pemerintah tunduk pada tekanan itu, kreativitas publik jadi korban,” tambahnya.
Kasus pembatalan konser ini bukan peristiwa pertama terjadi. Nantinya, konser Dewa 19 di Lhokseumawe juga diperkirakan bakal mendapat tekanan serupa.
Gembok di pintu stadion itu kini menjadi simbol — bukan hanya penghalang acara musik, tapi penanda betapa ketakutan telah menguasai ruang budaya dan seni di Aceh.
Setiap upaya kreatif selalu diawasi oleh kacamata kecurigaan moral, setiap kegiatan anak muda ditakar dengan tafsir syariat yang lentur sesuai kepentingan kelompok tertentu.
Konser yang batal ini menunjukkan betapa sempitnya ruang publik di Aceh bagi ekspresi non-formal.
Ketika seni dianggap ancaman, dan musik dicurigai sebagai maksiat, maka Aceh perlahan kehilangan denyut mudanya.
Padahal, musik dan seni adalah bagian dari sejarah Aceh — dari seudati, rapa’i hingga hikayat didong.
Sayangnya, kini budaya itu terbelah dua: yang satu dilindungi atas nama tradisi, yang lain ditolak atas nama agama.
Kalau artis nasional dilarang, tapi penyanyi lokal boleh tampil, ini akan mengesankan terjadi diskriminasi atas nama syariat.
Malam itu, di Taman Sari, musik tetap bergema. Tapi di Lapangan Panahan yang terkunci, hanya terdengar suara jangkrik dan tiupan angin.
Aceh seolah punya dua wajah — satu terbuka untuk “yang dianggap islami”, dan satu lagi menolak apa pun yang datang dari luar.
Dan di antara dua wajah itu, generasi muda Aceh terjebak dalam kebingungan: ingin berkarya tapi takut dilarang, ingin mengekspresikan diri tapi khawatir disalahkan.



