Penulis: Delky Nofrizal Qutni*
Pemerintah pusat akhirnya membuka sinyal kuat untuk membangun Terowongan Geureutee, sebuah proyek infrastruktur yang selama ini hanya hidup dalam wacana.
Lobi politik yang dilakukan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem, disebut berhasil menembus tembok birokrasi pusat dan menghadirkan kembali cita-cita lama yakni menjadikan jalur Banda Aceh-Barat Selatan sebagai urat nadi ekonomi baru Aceh.
Terowongan ini memang menjanjikan banyak hal. Ia akan memangkas jarak tempuh hingga 40 persen, mengurangi kecelakaan di tanjakan curam, memperlancar logistik dan mempercepat perputaran ekonomi di delapan kabupaten/kota yang selama ini terisolasi.
Namun, di balik kabar baik itu, ada hal yang luput disorot apa yang sesungguhnya disembunyikan oleh tubuh Gunung Geureutee yang hendak dibelah itu?
Pertanyaan ini penting, karena proyek dengan nilai investasi triliunan rupiah itu bukan hanya urusan beton dan aspal. Ia juga menyentuh inti geopolitik sumber daya alam Aceh, tentang siapa yang sesungguhnya akan menikmati isi perut bumi ketika proyek ini dijalankan.
Gunung yang Dibor, Potensi yang Terbuka
Dalam Detailed Engineering Design (DED) Dinas PUPR Aceh, proyek terowongan ini akan menembus tiga segmen utama: Gunung Paro sepanjang 1.135 meter, Gunung Kulu 1.638 meter, dan Geureutee 2.805 meter. Jika setiap segmen memiliki lebar 10 meter dan tinggi 7 meter, maka volume galian batuan padat yang akan diangkat dari proyek ini mencapai sekitar 280.000 meter kubik.
Dengan densitas rata-rata batuan granit 2,7 ton per meter kubik, berarti total batuan yang akan dikeluarkan bisa mencapai sekitar 756.000 ton.
Secara teknis, angka ini setara dengan aktivitas tambang batuan skala kecil hingga menengah. Namun, yang lebih penting adalah apa yang digali.
Berdasarkan peta geologi lembar Aceh (Pusat Survei Geologi, 2018), Gunung Geureutee tersusun dari batuan intrusi granodiorit dan ultramafik, bagian dari sistem busur magmatik Bukit Barisan yang dikenal kaya mineral sulfida beuoa emas (Au), tembaga (Cu), perak (Ag) dan bahkan logam tanah jarang (rare earth elements).
Batuan intrusi seperti ini sering kali mengandung mineral ikutan dengan kadar emas 1-3 gram per ton batuan. Jika asumsi konservatif itu diterapkan pada 756.000 ton material galian, maka potensi kandungan emas semu dari proyek ini berkisar antara 756 kilogram hingga 2.268 kilogram emas murni.
Dengan harga emas internasional sekitar Rp1,3 miliar per kilogram, nilai total potensi mineralnya bisa mencapai Rp982 miliar hingga Rp2,9 triliun nyaris setara dengan separuh dari estimasi biaya pembangunan terowongan itu sendiri.
Itu belum memperhitungkan logam lain seperti palladium, thorium, atau unsur tanah jarang yang bisa memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dari emas. Dalam geopolitik modern, logam-logam ini menjadi komoditas strategis yang menentukan masa depan industri baterai, energi hijau, dan teknologi pertahanan.
Jika benar lapisan batuan Geureutee menyimpan mineral sejenis, maka proyek ini bukan sekadar pembangunan infrastruktur, melainkan pembukaan babak baru perebutan sumber daya strategis di Tanah Rencong.
Negara seharusnya menyadari bahwa setiap meter batuan yang dibor adalah bagian dari kekayaan nasional yang harus dicatat, diuji, dan diawasi.
Namun, di Indonesia, belum ada mekanisme yang jelas untuk mengaudit material hasil galian proyek infrastruktur seperti ini. Material batuan kerap dianggap “spoils” yakni limbah tanpa nilai ekonomi dan dibiarkan dikelola oleh kontraktor proyek.
Padahal dalam konteks geopolitik mineral, itu sama dengan membuang emas di pinggir jalan.
Antara Jalan Kemajuan dan Jalur Rente
Terowongan Geureutee memang penting secara ekonomi. Jalur ini menjadi satu-satunya penghubung darat yang efisien antara Banda Aceh dan wilayah Barat Selatan. Tapi setiap pembangunan besar selalu membawa dua sisi yaitu kemajuan dan kerentanan.
Dalam sejarah panjang pembangunan nasional, proyek infrastruktur berskala besar sering kali menjadi titik buta pengawasan, tempat di mana rente ekonomi bersarang di balik jargon kemajuan.
Aceh sudah berkali-kali menjadi saksi. Dari gas Arun di Lhokseumawe hingga tambang emas di Beutong dan Nagan Raya, semua menjanjikan kemakmuran, namun meninggalkan jejak ketimpangan.
Kini, Geureutee berpotensi menambah daftar itu jika transparansi dan pengawasan publik tidak diperkuat sejak awal.
Pemerintah pusat boleh membangun, tetapi Pemerintah Aceh harus mengawal. Dalam kerangka otonomi khusus, Aceh memiliki hak konstitusional untuk memastikan setiap sumber daya yang keluar dari tanahnya dikelola secara transparan dan adil.
Jika dari hasil pengeboran ditemukan mineral berharga, hasil itu wajib dicatat dalam non-tax revenue (PNBP) daerah, bukan menguap dalam rantai distribusi material proyek.
Kajian geologi seharusnya menjadi bagian dari tahapan perencanaan, bukan sekadar lampiran administratif. Universitas Syiah Kuala, BRIN, dan Pusat Survei Geologi semestinya dilibatkan dalam riset geokimia dan pemetaan struktur batuan sebelum konstruksi dimulai.
Bukan untuk menunda pembangunan, tapi untuk memastikan tidak ada kekayaan mineral yang hilang tanpa jejak.
Dalam perspektif filosofis Aceh, bumi bukan sekadar sumber daya, tapi bagian dari identitas. Tanoh nyan darah ureueng (tanah itu darah manusia). Maka menggali bumi tanpa ilmu dan nurani sama halnya menumpahkan darah sendiri.
Pembangunan yang sejati bukan hanya menembus gunung, tapi juga menembus kegelapan birokrasi dan kerakusan manusia.
Aceh butuh jalan penghubung, tapi juga butuh jembatan moral antara pembangunan dan keadilan sumber daya. Terowongan Geureutee seharusnya menjadi simbol integrasi wilayah, bukan simbol pengulangan sejarah eksploitasi. Karena jika tidak, proyek ini bisa saja berakhir seperti banyak kisah pembangunan di negeri ini yang megah di atas, tapi hampa di dalam.
Geureutee bukan sekadar gunung, ia adalah cermin Aceh. Di dalamnya tersimpan batuan tua, energi muda, dan mungkin juga moral yang diuji.
Di situlah pertemuan antara politik, geologi, dan kedaulatan rakyat diuji dalam satu lubang yang panjang dan gelap. Dan cahaya di ujung terowongan itu kelak akan menunjukkan satu dari dua hal berupa kemajuan yang jujur atau kecurangan yang disembunyikan dengan rapi.
Jika benar proyek ini akan segera dimulai, maka sejarah akan mencatat bukan seberapa panjang terowongan itu, melainkan seberapa dalam bangsa ini menggali nuraninya sebelum menggali gunungnya.




 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 