Oleh: Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
GEMA perubahan kembali terdengar dari ujung barat Indonesia. Gubernur Aceh Muzakir Manaf pada 10 Oktober 2025 melantik tiga deputi baru di lingkungan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS). Langkah ini disebut sebagai upaya “penyegaran birokrasi” untuk memperkuat tata kelola kelembagaan dan mempercepat pembangunan ekonomi kawasan perdagangan bebas Sabang.
Namun di balik seremoni penuh harapan itu, muncul pertanyaan mendasar: mengapa Sabang, dengan semua keunggulan geografis dan sejarahnya, masih tertinggal jauh dari mimpi menjadi pelabuhan internasional unggulan?
Sabang berada di jalur strategis Selat Malaka–Andaman, salah satu koridor laut tersibuk di dunia. Berdasarkan data MarineTraffic (2024), lebih dari 200 kapal melintas setiap hari, dan sekitar 40 persen perdagangan laut global melewati kawasan ini. Posisi ini seharusnya menjadi anugerah ekonomi luar biasa bagi Indonesia. Namun kenyataannya, kontribusi Sabang terhadap PDRB Aceh masih di bawah satu persen.
Realisasi investasi kawasan BPKS per 2024 hanya mencapai Rp320 miliar, jauh dari target tahunan Rp2 triliun sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Kawasan. Dua dekade setelah berdiri, BPKS masih lebih sering menjadi simbol potensi ketimbang mesin ekonomi yang nyata.
Dalam pelantikan di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Gubernur Muzakir Manaf menunjuk Fajran Zain sebagai Deputi Teknik, Pengembangan & Tata Ruang; Abdul Manan sebagai Deputi Umum; dan Teuku Ardiansyah sebagai Deputi Komersial & Investasi. Dalam sambutannya, gubernur menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk mengembangkan Sabang sebagai simpul ekonomi maritim berdaya saing tinggi.
Langkah ini memang patut diapresiasi. Namun harus diakui, masalah BPKS tidak berhenti pada rotasi pejabat. Persoalan utamanya terletak pada tata kelola yang tumpang tindih antara BPKS, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Pusat. Ketidaksinkronan kewenangan itu menciptakan ketidakpastian bagi investor, terutama soal perizinan lahan, kepabeanan, dan akses logistik.
Tanpa reformasi struktural, pelantikan pejabat baru hanya akan menjadi ritual administratif yang mengulang kegagalan lama dengan wajah baru.
Secara infrastruktur, Sabang memang punya pelabuhan, bandara, dan jalan penghubung. Namun data BPKS 2024 menunjukkan Pelabuhan CT-3 hanya beroperasi sekitar 20 persen dari kapasitas optimal, sementara konektivitas logistik ke Banda Aceh masih bergantung pada subsidi feri ASDP.
Di sisi lain, status kawasan perdagangan bebas yang seharusnya menjadi keunggulan Sabang justru membingungkan pelaku usaha. Inkonsistensi regulasi antara Kementerian Keuangan, Bea Cukai, dan BPKS menciptakan rezim fiskal yang tidak efisien dan sulit diprediksi. Akibatnya, investor lebih memilih Batam atau Bitung yang menawarkan sistem logistik dan kepastian hukum lebih mapan.
Untuk keluar dari stagnasi, BPKS harus berani mengubah arah dari event-based development menuju ecosystem-based development. Ada tiga langkah penting yang perlu segera dilakukan:
Reformasi tata kelola dan kewenangan.
Pemerintah Aceh harus mendorong revisi PP Nomor 83 Tahun 2010 agar BPKS memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan lahan dan investasi tanpa intervensi administratif berlapis.Digitalisasi ekosistem investasi.
Pembentukan Sabang Investment Portal yang terhubung langsung dengan OSS, Bea Cukai, dan Pelabuhan Sabang akan mempercepat perizinan dan meningkatkan transparansi. Investor global menilai efisiensi bukan dari janji, melainkan dari response time birokrasi.Reposisi arah pembangunan menuju ekonomi hijau maritim.
Fokus pembangunan perlu diarahkan pada green port, offshore logistics, dan energi terbarukan laut, sejalan dengan tren global investasi ESG dan transisi hijau.
Dengan pendekatan ini, Sabang bisa memosisikan diri sebagai “The Green Gateway of the Indian Ocean.”
Sabang tidak kekurangan potensi. Yang kurang adalah konsistensi dan keberanian mengeksekusi kebijakan. Langkah Gubernur dalam melakukan penyegaran di tubuh BPKS memberi sinyal perubahan arah, tapi publik menunggu hasil nyata, bukan sekadar wajah baru.
Evaluasi kinerja triwulanan, transparansi proyek, dan pengukuran dampak ekonomi harus menjadi standar baru pengelolaan kawasan. BPKS harus kembali ke esensi awal pembentukannya: menjadi lokomotif ekonomi maritim Aceh dan barometer keunggulan Indonesia di gerbang Samudra Hindia.
Sabang kini di persimpangan: antara menjadi pusat ekonomi biru masa depan atau sekadar pulau yang ramai dibicarakan, tapi sepi pembangunan.



