Jakarta, Infoaceh.net – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional tahun 2025 kepada mantan Presiden Soeharto.
Menurut YLBHI, keputusan tersebut menunjukkan pemerintahan saat ini semakin kehilangan etika, merusak hukum dan hak asasi manusia, mengabaikan semangat antikorupsi, serta merendahkan makna kepahlawanan itu sendiri.
Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, dalam pernyataan resminya, Senin (10/11/2025) mengatakan penganugerahan gelar tersebut sudah mereka duga akan tetap dipaksakan, meskipun jelas-jelas mengandung conflict of interest.
“Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan hanya sebuah pengkhianatan terhadap para korban dan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap reformasi serta merupakan pengaburan sejarah yang berbahaya bagi generasi muda,” ujar Muhammad Isnur.
“Gelar ini hanya layak diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, serta kedaulatan rakyat bukan kepada pemimpin yang masa jabatannya diwarnai oleh otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia rakyatnya,” tegasnya.
Disebut Bertentangan dengan Hukum dan HAM
YLBHI menilai keputusan tersebut bertentangan secara hukum dan hak asasi manusia, serta mencederai sejumlah ketentuan dan putusan negara yang telah secara jelas mengakui adanya pelanggaran berat pada masa pemerintahan Soeharto.
Lembaga tersebut menguraikan empat dasar hukum yang menunjukkan ketidaksesuaian penganugerahan gelar itu:
- Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, yang secara resmi mengakui adanya pelanggaran HAM berat pada sejumlah peristiwa, di antaranya:
Tragedi 1965–1966
Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985
Talangsari, Lampung (1989)
Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh (1989)
Penghilangan Orang Secara Paksa (1997–1998)
Kerusuhan Mei 1998
Tragedi Trisakti dan Semanggi I (1998)
“Soeharto bertanggung jawab terhadap berbagai peristiwa tersebut sebagai kepala pemerintahan saat itu,” tulis YLBHI.
- TAP MPR Nomor X Tahun 1998, yang menyatakan bahwa selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru telah terjadi penyimpangan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, dan pengabaian rasa keadilan masyarakat.
TAP MPR Nomor XI Tahun 1998, yang menegaskan bahwa pemerintahan Soeharto sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015, yang menyatakan bahwa Yayasan Supersemar dan Soeharto terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar kerugian negara senilai lebih dari Rp 4,4 triliun.
Selain itu, YLBHI menyoroti bahwa berbagai yayasan di bawah keluarga Soeharto — seperti Yayasan Harapan Kita, Dharma Putera Kostrad, dan Seroja — turut menjadi simbol ketimpangan struktural, monopoli ekonomi, serta pelanggaran kemanusiaan seperti kasus anak-anak Timor Leste yang diculik dan dihilangkan identitasnya.
Rezim Prabowo Dinilai Mengkhianati UUD 1945
YLBHI menilai keputusan ini memperlihatkan arah pemerintahan yang semakin menjauh dari amanat reformasi dan semangat konstitusi.
“Pemberian gelar ini menunjukkan bahwa rezim Prabowo telah semakin masuk ke dalam pemerintahan yang mengkhianati UUD 1945, mengkhianati dan menyakiti rakyat, serta telah terbukti melakukan tindakan-tindakan tercela,” kata Isnur.
Sebagai penutup, YLBHI menegaskan akan terus mengingatkan publik agar tidak melupakan sejarah kelam pelanggaran HAM masa lalu, serta mendesak pemerintah untuk menghentikan upaya rehabilitasi tokoh-tokoh yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan.



