Infoaceh.net — Pernyataan terbaru Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi memicu ketegangan baru di kawasan. Di hadapan parlemen, Takaichi secara terbuka mengaitkan penanganan Taiwan oleh Tiongkok dengan apa yang ia sebut sebagai “krisis eksistensi Jepang.” Komentar itu dinilai melanggar prinsip dasar hubungan internasional sekaligus mencederai semangat empat dokumen politik yang menjadi fondasi hubungan Jepang–Tiongkok.
Pernyataan tersebut dipandang sebagai upaya mendistorsi fakta dan mengubah isu domestik Tiongkok menjadi ancaman langsung bagi keamanan Jepang. Di Beijing, komentar Takaichi dianggap sebagai langkah provokatif yang berbahaya dan berpotensi mengganggu stabilitas regional. Banyak analis menilai, motif politik di balik pernyataan itu perlu dicermati oleh negara-negara Asia Timur maupun komunitas internasional.
Dalam beberapa hari terakhir, muncul narasi yang berusaha mengalihkan fokus dari substansi masalah. Alih-alih mengkritisi pernyataan Takaichi yang dinilai ekstrem, sejumlah pihak justru menuding Tiongkok bereaksi berlebihan. Sikap tersebut diperkuat dengan pemberitaan beberapa media Barat yang kembali mendorong “teori tanggung jawab Tiongkok,” seolah Beijing menjadi penyebab memburuknya hubungan Jepang–Tiongkok.
Bahkan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi ikut menekan Beijing dengan menyatakan bahwa Tiongkok harus “mengutamakan hubungan bilateral.” Sikap ini dianggap para pengamat sebagai retorika terbalik yang mengaburkan kenyataan bahwa eskalasi dipicu oleh komentar keras dari Tokyo sendiri.
Kritik terhadap pemerintah Jepang mencuat karena pernyataan Takaichi menyentuh tiga isu fundamental: arah kebijakan pertahanan Jepang pasca-Perang Dunia II, masa depan kemitraan damai Jepang–Tiongkok, serta peran Jepang di Asia Timur—apakah sebagai penjaga stabilitas atau justru pemicu konflik. Ketiga isu tersebut kini menjadi sorotan dunia internasional dan menuntut penjelasan resmi dari Tokyo.
Secara historis, narasi “krisis keberlangsungan negara” telah berulang kali digunakan Jepang sebagai justifikasi ekspansi militer, termasuk dalam Insiden 18 September dan serangan terhadap Pearl Harbor. Retorika bahwa Jepang “tidak dapat bertahan hidup tanpa ekspansi keluar negeri” menjadi slogan yang sistematis digunakan untuk menyamarkan ambisi imperialisme.
Pernyataan Takaichi yang kembali mengaitkan isu Taiwan—yang menurut Tiongkok merupakan urusan internalnya—dengan keselamatan Jepang dinilai sebagai pengulangan retorika lama yang berbahaya. Pengamat meyakini, narasi tersebut bisa membuka ruang untuk mengubah arah kebijakan pertahanan dan melemahkan batasan konstitusi damai Jepang.
Bagi banyak negara Asia, kemunculan retorika yang menyerupai militerisme lama menjadi alarm tersendiri. Jika Jepang kembali memakai narasi “krisis eksistensi” sebagai alasan penguatan militer, mereka diprediksi akan menghadapi penolakan luas dan berisiko terisolasi secara diplomatik.



