Oleh: Dr (cand) Yohandes Rabiqy, SE., MM
DUA puluh tahun sudah Sabang diberikan kehormatan dan harapan besar melalui status sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Namun setelah dua dekade berjalan, hasilnya jauh dari ekspektasi. Infrastruktur memang berdiri gagah, tetapi denyut ekonomi nyaris tak terdengar.
Ambisi besar yang dulu ditulis dengan huruf tebal kini luntur, menyisakan rutinitas administratif tanpa arah.
Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), institusi yang diproyeksikan menjadi mesin penggerak kawasan bebas, justru tampil seperti kapal tanpa kompas. Alih-alih mengemudikan transformasi ekonomi, BPKS lebih sering larut dalam acara seremonial dan pergantian papan nama.
Pemangkasan anggaran 2025 menjadi hanya Rp26,09 miliar bukan sekadar tanda penghematan dari pusat, tetapi penilaian keras: lembaga yang tak bergerak tak layak terus disuntik dana. Ini penegasan bahwa BPKS gagal menjalankan mandat fundamentalnya.
Balohan dan CT-3: Dua Simbol Gagalnya Pengelolaan
Kegagalan paling mencolok terlihat di Pelabuhan Balohan. Proyek tak tuntas, lahan tak selesai, layanan jauh dari standar pelabuhan modern. Potensi PNBP miliaran rupiah pun hilang begitu saja. Tetapi Balohan bukan satu-satunya lumbung kekecewaan.
Ada pelabuhan yang lebih senyap dan lebih menyakitkan: CT-3 Sabang.
Pelabuhan CT-3 dibangun dari ratusan miliar rupiah uang negara. Dermaga panjang, fasilitas modern, dan klaim bahwa Sabang akan menjadi simpul perdagangan internasional. Namun hari ini, CT-3 tak lebih dari bangunan monumental yang hidup sebagai museum. Kapal besar tak hadir, arus logistik tak mengalir, dan aktivitas ekonomi nihil.
CT-3 adalah cermin paling jujur dari kegagalan BPKS: infrastruktur ada, tetapi ekosistem tidak pernah dibangun. Tidak ada kerja sama operator global, tidak ada kebijakan tarif yang menarik, tidak ada promosi investasi yang serius, tidak ada strategi pelayaran. CT-3 seperti bandara megah tanpa satu pun pesawat.
Kesunyian itu bukan soal teknis semata. Ia adalah bukti kelumpuhan struktural. BPKS gagal mengubah beton menjadi nilai ekonomi. Padahal tugas pengelola kawasan bebas adalah memastikan aset menjadi arteri pertumbuhan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dana negara yang telah dihabiskan selama bertahun-tahun hanya akan mengeras menjadi monumen dari kegagalan manajemen.
Tata Kelola Bocor, Investor Lari Perlahan
Masalah tidak berhenti pada pelabuhan. Buruknya tata kelola aset—termasuk polemik serah-terima lahan dengan Kejaksaan Sabang—membuktikan bahwa fondasi administratif BPKS bocor di banyak sisi. Dalam logika investasi global, ketidakjelasan aset adalah bendera merah. Investor membaca ini sebagai risiko serius—dan mereka tak keliru.
Kunjungan investor Malaysia yang sempat menjajaki potensi hub bunkering internasional memang memberi secercah harapan. Namun siapa pun yang mengerti dunia investasi paham bahwa kunjungan itu hanya langkah awal. Investor tidak membeli pemandangan atau paparan presentasi; mereka menilai keseriusan pengelola. Dan yang mereka temukan di Sabang adalah pelabuhan yang tak tuntas, CT-3 yang mati suri, serta lembaga tanpa peta jalan.
Dunia tidak menunggu kawasan yang tersandung oleh pekerjaannya sendiri.
Pariwisata yang Menambal Mandat yang Hilang
Ironisnya, Sabang bertahan bukan dari KPBPB — tetapi pariwisata domestik. Tahun 2024, Sabang kedatangan 263.800 wisatawan Nusantara. Mereka datang karena keindahan alam, bukan karena Sabang adalah “zona bebas”. Sementara wisatawan mancanegara hanya 6.023 orang. Dua puluh tahun kawasan bebas, tetapi orientasi global tak pernah muncul.
Ini menunjukkan satu hal: Sabang berkembang meski ada BPKS, bukan karena BPKS.
Sabang Butuh Visi, Bukan Seremoni
Akar masalahnya konsisten: BPKS berjalan tanpa visi operasional, tanpa keberanian mengambil risiko, tanpa indikator kinerja yang tegas. Proyek besar mangkrak, aset terbengkalai, investor tidak betah, dan pelabuhan strategis seperti CT-3 dibiarkan membisu.
Sudah waktunya siklus ini dihentikan. Sabang tidak butuh lembaga yang menghitung prestasi dari banyaknya rapat.
Ia butuh pengelolaan baru yang berani melakukan reposisi total, mulai dari perombakan struktur, kepemimpinan berpengalaman dalam kawasan strategis, hingga transparansi penuh mengenai kinerja investasi, progres lahan, dan roadmap pelabuhan.
CT-3 harus berada di posisi teratas prioritas. Pemerintah perlu mengatur ulang fungsi pelabuhan itu, menggandeng operator internasional, mengintegrasikannya dengan Balohan, menetapkan tarif kompetitif, dan menghubungkannya ke rantai pasok global. Jika perlu, manajemen CT-3 diserahkan ke mitra global, bukan dipertahankan dalam pola lama yang jelas gagal.
Saatnya Negara Memutuskan Arah Sabang
Pertanyaan paling mendasar kini berada di tangan negara: ke mana Sabang ingin diarahkan?
Jika Sabang masih diyakini sebagai simpul maritim strategis nasional, maka dukungan harus menyeluruh, dan kepemimpinan BPKS harus diganti dengan yang benar-benar berpengalaman.
Tetapi jika tidak, status kawasan bebas itu harus dievaluasi secara jujur—sebelum menjadi sekadar simbol yang tak punya substansi.
Sabang tidak pernah kekurangan potensi. Yang kurang adalah kualitas pengelolaan dan keberanian untuk mengakui bahwa model lama sudah gagal.
Selama BPKS tetap berjalan dengan cara lama, Sabang akan terus berada di tempat yang sama. CT-3 akan tetap sunyi. Balohan akan tetap tersendat. Investor akan terus ragu. Dan Sabang akan tetap menjadi pulau indah yang hidup dari wisata domestik, bukan kawasan bebas seperti yang dijanjikan undang-undang.
Sudah terlalu lama Sabang dibiarkan berjalan dengan mesin setengah hidup. Kini saatnya negara memilih: membangkitkannya kembali dengan visi baru, atau jujur mengakui bahwa “kawasan bebas” itu kini tak lebih dari tulisan besar di papan.



