Banda Aceh, Infoaceh.net — Ruang publik Aceh kembali ramai setelah Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem), menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui tambahan dana pembangunan Aceh sebesar Rp8 triliun pada tahun 2026, serta dana abadi Rp2 triliun untuk mantan kombatan GAM
Pernyataan itu memicu beragam tanggapan, mulai dari dukungan, keraguan, hingga kritik keras terkait mekanisme dan dasar hukum pengalokasian anggaran tersebut.
Klaim Gubernur: Tambahan Dana untuk Aceh Telah Disetujui Presiden
Saat menghadiri kegiatan penandatanganan KUA dan PPAS Tahun Anggaran 2026 di Gedung DPRA pada Jum’at (14/11) lalu, yang videonya beredar di media sosial, Gubernur Mualem menyampaikan bahwa dirinya mendapat persetujuan langsung Presiden Prabowo untuk menambah alokasi anggaran pembangunan Aceh di luar dana Otonomi Khusus (Otsus).
“Presiden setuju. Aceh akan mendapat tambahan Rp8 triliun untuk pembangunan, dan Rp2 triliun untuk dana abadi eks kombatan,” ujar Mualem yang mengaku berbicara khusus dengan Presiden Prabowo selama tiga jam di Hambalang, Bogor.
Pernyataan Mualem itu segera menjadi sorotan karena muncul setelah APBN 2026 telah disahkan, sehingga publik mempertanyakan bagaimana mekanisme penambahan dana sebesar itu dapat dilakukan tanpa mekanisme resmi.
APBN 2026: Alokasi Otsus Aceh Tetap Rp3,74 Triliun
Dalam dokumen APBN yang telah disahkan DPR RI, alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh tercatat sebesar Rp3,74 triliun. Angka ini merupakan pagu resmi yang berlaku untuk tahun anggaran 2026.
Karena itu, klaim tentang tambahan Rp10 triliun membuat banyak pihak bertanya:
Dari mana sumbernya? Dari pos kementerian mana? Program strategis nasional? Atau bentuk lain yang belum dijelaskan?
Sejumlah kalangan mencatat bahwa setiap penambahan anggaran negara wajib melalui proses administratif yang ketat, mulai dari perencanaan, harmonisasi regulasi, pembahasan di DPR RI, hingga pengesahan.
Tanpa itu semua, penambahan anggaran tidak bisa dilakukan begitu saja.
Gelombang Kritik Publik: “Tidak Bisa Cair Tanpa Proses”
Di media sosial, kritik datang dari masyarakat yang menilai klaim Gubernur Mualem tersebut terlalu sederhana dan tidak sesuai mekanisme anggaran negara.
Beberapa komentar yang mencuat di antaranya:
“APBN sudah disahkan, pagu Aceh hanya Rp3,74 T. Jadi, yang Rp10 T itu keluar dari rekening pribadi Presiden?”
“Bansos Rp700 ribu saja prosesnya panjang dan ketat. Bagaimana mungkin Rp10 T bisa cair seketika?”
“Kalau bisa dapat Rp10 T hanya dengan bisik-bisik ke Presiden, berarti Aceh tidak perlu repot menyusun anggaran tahunan.”
Sebagian warganet juga mempertanyakan mengapa ada pihak yang langsung menyambut klaim tersebut dengan tepuk tangan tanpa mempertanyakan dasar dan mekanismenya.
Tidak sedikit masyarakat yang menanggapi pernyataan tersebut dengan nada satir. Mereka mempertanyakan bagaimana dana sebesar itu bisa “turun” tanpa dokumen resmi.
Salah satu komentar yang cukup viral berbunyi:
“Dalam siklep-siklap (tiba-tiba) Rp10 T cair. Kita saja yang tidak tahu jalannya. Bansos saja sulit dicairkan, apalagi 10 T.”
Ada pula yang menyindir bahwa masyarakat tidak boleh terlalu mudah percaya hanya karena mendengar pidato Mualem yang disambut tepuk tangan.
“Yang dengar pidato Gubernur tiba-tiba prok-prok jaroe (tepuk tangan). Padahal yang dengar lainnya hanya bisa menggeleng.”
Sejumlah akademisi dan pengamat kebijakan publik menyarankan agar Pemerintah Aceh memberikan klarifikasi rinci mengenai:
- Sumber anggaran tambahan Rp10 T
Dasar hukum dan regulasi yang memungkinkan realisasi
Mekanisme pencairan serta alokasi penggunaan
Apakah sudah dibahas secara formal dengan kementerian terkait
Pasalnya, dalam sistem keuangan negara, penyaluran anggaran semacam itu tidak bisa dilakukan berdasarkan komunikasi informal atau arahan verbal, melainkan harus melewati jalur birokrasi yang panjang dan terdokumentasi.
Menanti Penjelasan Lengkap Pemerintah Aceh
Hingga kini, Pemerintah Aceh belum mengeluarkan penjelasan teknis terkait pernyataan Gubernur tersebut.
Publik menanti kepastian apakah pernyataan itu berupa: Kesepakatan awal yang masih membutuhkan proses lanjutan, Komitmen politik yang baru akan dibahas di pemerintahan pusat, atau sekadar bentuk optimisme yang belum diformalkan.
Sementara itu, diskursus publik terus bergulir. Sebagian masyarakat berharap klaim itu benar dan dapat menjadi angin segar bagi pembangunan Aceh, namun sebagian lainnya menilai perlu kehati-hatian agar tidak menimbulkan ekspektasi palsu.
Klaim Gubernur Aceh tentang persetujuan tambahan dana Rp10 triliun dari Presiden telah membuka ruang perdebatan besar di masyarakat.
Tanpa penjelasan resmi terkait sumber dan mekanismenya, isu ini masih dipandang sebagai klaim politik yang menuntut transparansi, bukan keputusan anggaran yang sudah benar-benar final.
Publik kini menunggu langkah berikutnya dari Pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat untuk memberikan klarifikasi yang tegas dan terverifikasi.



