Oleh: Yohandes Rabiqy
SELAMA dua tahun terakhir, tiga proyek migas Aceh—Gas Processing Facility (GPF), Gas Booster Compressor (GBC), dan pengembangan Blok A Phase II (ARAS-2)—menjadi mantra wajib dalam setiap rapat pemerintah, rilis BPMA, maupun pernyataan operator.
Ketiganya dipromosikan sebagai “proyek strategis” dan “penentu masa depan energi Aceh”. Tetapi ketika dokumen resmi, laporan teknis, dan data produksi disandingkan satu per satu, gambaran yang muncul justru sebaliknya: proyek-proyek itu rajin disebut, tetapi nyaris tak menyisakan jejak kemajuan yang bisa diverifikasi publik. Seolah-olah Aceh diminta percaya pada kemajuan yang tidak pernah ditunjukkan bentuknya.
Lifting kondensat 60.730 barel per Oktober 2025 yang dilaporkan BPMA dan Medco E&P Malaka memang menandakan operasi existing masih berjalan stabil. Total lifting 237.310 barel atau 98 persen target tahunan menunjukkan sistem produksi belum kolaps.
Tetapi itu hanya berbicara tentang hari ini. Sumur-sumur existing Blok A sudah lama menunjukkan penurunan tekanan. Tanpa fasilitas baru, laju penurunan tinggal menunggu waktu. Stabilitas jangka pendek bukan bukti kesiapan jangka panjang.
Project Monitoring Meeting (PMM) Triwulan IV 2025 seharusnya menjadi kesempatan menjawab pertanyaan publik. Namun hasil PMM yang dirilis hanya berisi kalimat aman: “proyek sesuai rencana”, “selaras jadwal bor”, “pengawasan ditingkatkan”. Tidak ada persentase progres, tidak ada milestone, tidak ada kendala teknis yang dijelaskan secara jujur. Untuk proyek bernilai strategis, ketiadaan indikator publik seperti ini bukanlah praktik lazim; ia adalah alarm.
GPF—fasilitas vital yang akan menentukan apakah gas Aceh bisa diproses dan dijual—hingga kini tidak memiliki rekam jejak publik apa pun. Tidak ada informasi kontraktor EPC, tidak ada tanda pembangunan dimulai, tidak ada foto lapangan, tidak ada laporan inspeksi, tidak ada dokumen S-curve. Dalam standar proyek midstream migas, absennya publikasi progres EPC adalah anomali serius.
GBC tidak lebih baik. Fasilitas yang menentukan aliran gas dari reservoir menua ini juga gelap data. Tidak ada spesifikasi teknis, tidak ada vendor, tidak ada status pengadaan material. Laporan kinerja BPMA dan dokumen korporat Medco pun tidak menyinggungnya. Untuk sebuah komponen yang sangat menentukan keberlangsungan produksi, kekosongan informasi ini terlalu janggal untuk dianggap wajar.
ARAS-2, yang seharusnya menjadi bantalan cadangan baru, bahkan lebih misterius. Tidak ada publikasi hasil pengeboran AS-15. Tidak ada data ketebalan reservoir, tekanan formasi, kandungan hidrokarbon, atau tingkat keberhasilan drilling. Tidak ada estimasi cadangan 1P–3P. Laporan BPMA 2024 justru mempertegas bahwa realisasi eksplorasi Aceh berada pada titik rendah. Bagaimana publik bisa percaya pada narasi “cadangan penyangga baru” jika data dasar saja tidak pernah dibuka?
Maka pertanyaan utamanya sederhana tetapi mendasar: jika benar proyek ini berjalan sesuai rencana, mana buktinya?
Dalam tata kelola migas, ketiadaan bukti bukan cuma masalah komunikasi. Ia adalah sinyal risiko manajerial dan perencanaan. Proyek migas selalu meninggalkan jejak: tender, kontrak EPC, foto lapangan, laporan bulanan, notulen teknis. Jika semua jejak itu tak tampak di ruang publik, ada sesuatu yang tidak sinkron antara panggung optimisme dan kenyataan lapangan.
Situasi ini diperparah oleh struktur kewenangan. RENSTRA Dinas ESDM Aceh 2023–2026 secara terbuka menyebut kapasitas pengawasan daerah terbatas. Aceh tidak memiliki kontrol penuh atas operasi migas dan bergantung pada BPMA dan kementerian. SDM teknis pun masih terbatas. Artinya, jika operator dan BPMA tidak transparan, pemerintah daerah tidak memiliki instrumen untuk melakukan verifikasi independen. Publik Aceh akhirnya hidup dalam kondisi informasi asimetris: menerima klaim, tanpa bisa mengecek kebenaran.
Di tengah kegelapan data ini, angka lifting 98 persen berpotensi meninabobokan. Produksi existing yang masih bertahan tidak berasal dari cadangan baru. Ia bergantung pada sumur tua yang tekanannya menurun. Jika tekanan turun sebelum GPF selesai atau sebelum ARAS-2 benar-benar menemukan cadangan baru, Aceh berpotensi menghadapi penurunan pendapatan yang tajam. Tanpa data cadangan baru, skenario jangka menengah Aceh berdiri di atas angin.
Di banyak negara, proyek strategis midstream migas memiliki dashboard publik: progres pembangunan, inspeksi, jadwal commissioning. Transparansi ini menjaga akuntabilitas. Di Aceh, justru yang berlaku adalah diam serempak. Tidak ada timeline. Tidak ada laporan risiko. Tidak ada penjelasan deviasi. Hanya narasi “berjalan sesuai rencana” yang terus didaur ulang tanpa bukti pendukung.
BPMA sendiri dalam arah kebijakan 2026 menyebut perlunya meningkatkan pengawasan dan sinergi, yang secara implisit mengakui pengawasan sebelumnya belum optimal. Jika regulator saja mengakui itu, publik Aceh semakin berhak menuntut transparansi faktual, bukan sekadar retorika.
Ketiadaan bukti progres pada ketiga proyek ini mengarah pada kesimpulan investigatif yang tidak bisa dihindari: narasi kemajuan jauh lebih besar daripada data kemajuan. Celah ini berbahaya, karena menentukan arah kebijakan energi Aceh. Jika GPF tidak selesai, gas ARAS-2 tidak bisa diproses. Jika GBC tidak hadir, tekanan gas turun lebih cepat. Jika ARAS-2 tidak menemukan cadangan signifikan, skenario produksi jangka menengah runtuh. Ketiga risiko ini tidak bisa dikelola jika informasi teknis ditutup.
Publik Aceh perlu meminta standar transparansi baru. Operator harus membuka progres GPF, GBC, dan ARAS-2 secara berkala. BPMA harus merilis laporan teknis yang dapat diverifikasi. Pemerintah Aceh harus membentuk tim teknis independen untuk mengecek langsung progres lapangan.
Selama informasi teknis tidak dibuka, publik Aceh hanya akan menilai dari satu indikator—angka lifting—yang tidak mencerminkan risiko jangka panjang. Dalam tata kelola energi, kondisi seperti ini terlalu berbahaya untuk dibiarkan.



