BANDA ACEH, Infoaceh.net – Dunia perbankan syariah di Provinsi Aceh kembali diguncang isu tidak sedap.
Seorang nasabah Bank Aceh Syariah (BAS) berinisial EM melaporkan hilangnya dana hingga Rp2,1 miliar dari rekening pribadinya yang berada di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Peunayong, Banda Aceh.
Kasus ini menimbulkan banyak tanda tanya, terutama karena transaksi dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik rekening, dan diduga melibatkan pihak internal bank.
Skandal ini kini menjadi sorotan publik, menantang komitmen transparansi dan integritas Bank Aceh Syariah sebagai lembaga keuangan milik daerah.
Berdasarkan temuan awal, mengutip dari HARIANACEH.co.id Jum’at (21/11), aliran dana yang hilang berasal dari rangkaian transaksi setor–tarik dalam jumlah besar. Setoran miliaran rupiah tercatat masuk ke rekening EM, namun tak lama kemudian dana tersebut ditarik kembali dalam beberapa kali transaksi cepat.
Keanehan semakin jelas saat EM menegaskan ia sama sekali tidak mengetahui, apalagi mengizinkan, aktivitas keuangan tersebut.
Saldo rekening yang semula berisi miliaran rupiah tiba-tiba menipis hingga hanya tersisa beberapa juta rupiah.
Nasabah pun terkejut ketika menyadari bahwa rekeningnya digunakan seperti “terminal transaksi” oleh pihak lain yang tidak pernah ia beri kuasa.
Nama seorang pria berinisial DSL mencuat dalam laporan investigasi internal BAS. Ia diduga sebagai pihak yang melakukan sebagian besar transaksi setor-tarik tersebut.
Namun, pertanyaan besar muncul: darimana DSL mendapat akses untuk melakukan transaksi terhadap rekening yang bukan miliknya?
Publik menilai, transaksi sebesar itu mustahil dapat dilakukan tanpa adanya celah atau bantuan dari pejabat internal bank.
Sorotan Mengarah pada Kepala KCP Peunayong: Mengapa Diam?
Dugaan semakin menguat setelah muncul informasi bahwa MR, Kepala KCP Peunayong tempat rekening itu dikelola, diduga memiliki hubungan dekat dengan DSL.
Sejumlah auditor menilai sikap diam dan tidak adanya penindakan langsung dari MR justru memperbesar kecurigaan publik bahwa ada unsur pembiaran atau setidaknya kelalaian berat di tingkat pimpinan cabang.
“Transaksi sebesar itu tidak mungkin terjadi berkali-kali tanpa persetujuan atau pantauan pejabat cabang,” ujar seorang sumber internal yang meminta namanya dirahasiakan.
Investigasi pun kini menempatkan MR pada posisi yang sangat krusial untuk diperiksa secara intensif.
Audit awal mengungkap sejumlah kemungkinan pelanggaran dan penyimpangan prosedur yang membuat kasus ini semakin rumit.
Pihak internal menanyakan apakah DSL pernah mengajukan surat kuasa dari EM untuk melakukan transaksi.
Kesimpangannya adalah: tidak ada bukti bahwa EM pernah menandatangani surat kuasa.
Tidak ada bukti verifikasi tanda tangan di depan pejabat bank.
Tidak ada rekaman CCTV yang menunjukkan pertemuan formal EM dan DSL di cabang.
Jika tidak ada surat kuasa, bagaimana mungkin DSL dapat mengakses rekening tersebut?
Ditemukan indikasi bahwa data rekening EM mungkin telah digunakan tanpa sepengetahuan pemilik. Ada pula khawatiran bahwa nomor identitas nasabah digunakan secara tidak wajar, bahkan disinyalir mungkin dimanipulasi.
Dugaan lain yang berkembang adalah bahwa ada kebijakan cabang yang sengaja diselewengkan. MR sebagai kepala cabang dianggap mengetahui aktivitas ini, atau setidaknya tidak mengambil langkah pencegahan.
Hal inilah yang memicu tuntutan agar MR segera dinonaktifkan sementara demi kelancaran investigasi.
DSL: Anak Pengusaha Besar, Diduga Dapat Perlakuan Khusus
DSL disebut-sebut merupakan putra dari salah satu pengusaha terkenal di Aceh dan pengurus inti salah satu partai politik besar berbasis nasional di Aceh.
Status sosialnya inilah yang memunculkan dugaan bahwa ia mendapat akses istimewa di KCP Peunayong.
Kedekatan personal antara DSL dan MR menjadi salah satu fokus utama auditor bank. Banyak pihak percaya bahwa tanpa hubungan tersebut, aktivitas transaksi ilegal sebesar ini tidak akan terjadi dengan begitu lancar.
Kasus ini bukan sekadar persoalan kehilangan dana seorang nasabah, tetapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap Bank Aceh Syariah.
Warga mulai mempertanyakan keamanan dana mereka, terutama jika pihak internal dapat dengan mudah mengakses dan menggerakkan rekening nasabah.
Nasabah EM melalui kuasa hukum dan keluarganya menuntut: pengungkapan lengkap hasil audit internal.
Pemeriksaan menyeluruh terhadap MR dan semua karyawan yang terkait
Verifikasi keaslian dokumen yang digunakan untuk transaksi, pengembalian dana Rp2,1 miliar sepenuhnya.
Sementara itu, pemerhati perbankan mendesak BAS agar tidak menutupi hasil audit. Transparansi menjadi kunci untuk memulihkan kembali citra lembaga tersebut.
Kasus ini kini memasuki fase audit intensif. BAS belum memberikan pernyataan publik secara rinci, namun tekanan masyarakat terus meningkat.
Penggiat publik mengingatkan bahwa lambatnya respons justru memperkuat dugaan adanya permainan internal.
Jika seluruh prosedur audit dibuka dan dipaparkan kepada publik, maka akan terjawab apakah dana Rp2,1 miliar tersebut hilang akibat kelalaian, pembiaran, atau justru merupakan bagian dari skema yang lebih terstruktur.
Skandal ini menjadi momentum penting bagi Bank Aceh Syariah untuk membuktikan integritasnya. Apakah BAS mampu mengungkap dan menindak tegas pelaku internal?
Atau kasus ini akan menjadi noda besar dalam sejarah perbankan daerah?
Nasabah menunggu jawaban. Publik menuntut transparansi.
Dan Bank Aceh Syariah kini berada di bawah sorotan yang tidak lagi bisa dihindari.



