Aceh Utara, Infoaceh.net — Konflik agraria yang melibatkan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional 6 dengan masyarakat di 19 desa Kecamatan Cot Girek dan Pirak Timu, Kabupaten Aceh Utara, memasuki babak baru setelah sejumlah warga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Aceh Utara.
Pihak LBH Banda Aceh menyebut penetapan tersangka tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut penyelesaian sengketa lahan.
Aksi Blokade Jalan dan Tudingan Penyerobotan Lahan
Sejak 27 September hingga 6 Oktober 2025, ratusan warga melakukan aksi memblokir akses jalan pengangkut sawit milik PTPN IV di Desa Tempel, Cot Girek.
Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap dugaan penyerobotan lahan oleh perusahaan pelat merah itu, yang menurut warga telah menguasai wilayah dua kali lipat dari luas Hak Guna Usaha (HGU) resminya sebesar 7.500 hektare.
Warga yang tergabung dalam aliansi masyarakat Cot Girek–Pirak Timu menuntut pemerintah dan perusahaan segera menyelesaikan konflik agraria yang telah berlangsung bertahun-tahun tersebut.
Pada 1 Oktober 2025 sekitar pukul 11.00 WIB, saat massa aksi melakukan zikir di lokasi blokade, seorang pekerja perusahaan bernama Alam Syah tiba-tiba masuk ke kerumunan massa.
Ia diduga memprovokasi dan mencoba menarik ketua aliansi massa aksi, Dwijo Warsito.
Warga yang berada di lokasi menghalangi tindakan tersebut dan mendorong pekerja itu keluar dari kerumunan.
Tidak ada kekerasan lanjutan, namun peristiwa ini kemudian berujung pada laporan polisi yang dibuat oleh Alam Syah ke Polres Aceh Utara dengan tuduhan pengeroyokan.
Warga Tiba-tiba Jadi Tersangka
Polres Aceh Utara memproses laporan tersebut sebagai dugaan tindak pidana pengeroyokan. Pada 14 November 2025, lima warga menerima surat panggilan pertama sebagai tersangka, termasuk seorang warga yang merekam video kejadian.
Warga menolak hadir karena status tersangka diberikan tanpa pernah dilakukan pemeriksaan sebagai saksi sebelumnya.
Pada 21 November 2025, polisi kembali mengirimkan surat panggilan kepada dua warga lainnya untuk hadir pada 24 November 2025. Surat tersebut juga ditembuskan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Utara.
LBH Banda Aceh mengecam tindakan kepolisian yang dinilai tidak profesional dan cenderung memihak perusahaan.
“Peristiwa pada 1 Oktober itu bukanlah tindak pidana sebagaimana dituduhkan perusahaan, dan celakanya langsung diamini oleh Polres Aceh Utara tanpa penyelidikan,” ujar Kepala Operasional YLBHI–LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, Sabtu (22/11).
Ia menilai proses hukum tersebut janggal dan tidak sesuai dengan prosedur, terutama karena warga langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui tahapan penyelidikan.
“Patut diduga demi memihak PTPN IV, Polres Aceh Utara main potong kompas. Ini lucu, dan sudah sepatutnya menjadi perhatian Komisi Reformasi Polri,” tegas Qodrat.
Desakan Penghentian Proses Hukum dan Penyelesaian Konflik
LBH Banda Aceh mendesak Polres Aceh Utara menghentikan proses hukum terhadap warga karena laporan perusahaan dinilai tidak memenuhi unsur tindak pidana.
Mendesak pemerintah daerah segera merespons tuntutan masyarakat dan menyelesaikan konflik agraria melibatkan 19 desa di Cot Girek dan Pirak Timu.
Mebdesak PTPN IV Regional 6 menghentikan kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidup mereka.
“Warga hanya mempertahankan ruang hidupnya. Yang diperlukan adalah penyelesaian konflik agraria, bukan kriminalisasi,” tutup Qodrat.



