Banda Aceh, Infoaceh.net — Universitas Syiah Kuala (USK) menjadi tuan rumah Dialog Budaya dan Kuliah Umum Gerakan Kebudayaan Indonesia (GAYAIN) Aceh 2025 dengan tema “Merawat Kebhinekaan dan Memperkuat Ekosistem Kebudayaan di Era Digital.”
Acara utama diisi Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, dan dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas, akademisi, budayawan serta mahasiswa.
Dalam kuliah umumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyoroti peran sentral Aceh dalam peradaban nusantara. Ia menekankan, Aceh memiliki sejarah panjang sebagai titik akulturasi budaya.
Menteri Fadli Zon menceritakan kedekatannya dengan sejarah Aceh, terutama melalui koleksi pribadinya. “Aceh ini punya sejarah panjang, saya pertama kali ke Aceh 1993 bertemu aktivis, ulama di Aceh. Termasuk Ali Hasjmy berkali-kali,” ujarnya.
Ia secara tegas memposisikan Aceh di atas peta sejarah. “Aceh punya satu peradaban yang maju. Dibandingkan kerajaan dan kesultanan di daerah lain,” katanya.
Ia menambahkan kemajuan tersebut tercermin dalam bidang numismatik. Ia menyontohkan dari koleksi koin Samudra Pasai yang ia miliki.
“Koin Aceh itu cukup maju. Pada masa itu, banyak koin kesultanan di berbagai tempat bahanya sederhana. Aceh selain koin emas, perak hingga timah. Itu menunjukkan dari sisi numismatik, ekspresi budaya dari material,” jelasnya.
Ia menutup pandangannya mengenai sejarah dengan menegaskan, Aceh tidak hanya dikenal sebagai Serambi Mekkah, tetapi juga tempat akulturasi budaya yang sangat panjang, bahkan jauh sebelum Islam.
Menteri Kebudayaan menjelaskan kementerian yang dipimpinnya baru berdiri pertama kali sejak Indonesia merdeka, lahir sebagai komitmen Presiden Prabowo untuk membangun pondasi kebudayaan yang kuat.
Ia mengakui banyaknya Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan.
Menjawab tantangan masa depan, Fadli Zon menekankan pentingnya memanfaatkan aset budaya yang besar.
“Konsekuensi dari era digital adalah globalisasi. Dan tantangannya bagaimana mempertahan jati diri kita, tapi tetap relevan di tengah globalisasi,” ujarnya.
Ia melihat potensi besar untuk mengkapitalisasi warisan ini. “Modal budaya kita besar. Ke depan kita akan ditantang memanfaatkan budaya menuju industri budaya dan ekonomi budaya. Kita ini salah satu yang tertua di dunia,” tutupnya.
Tawaran Strategis USK: Pusat Budaya Digital Islami
Sebelumnya, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kewirausahaan USK Prof Dr Mustanir MSc menegaskan komitmen institusinya untuk bersinergi dengan Kementerian Kebudayaan. Ia menyoroti di tengah dinamika kebangsaan, peran Aceh sebagai simpul keberagaman menjadi semakin relevan untuk menunjukkan harmonisasi identitas lokal dan nasional.
“Di tengah dinamika kebangsaan hari ini, peran Aceh sebagai simpul keberagaman menjadi semakin relevan untuk menunjukkan bahwa identitas lokal dapat tumbuh harmonis bersama identitas nasional,” ujar Prof Mustanir.
Menurutnya, kekayaan tradisi Aceh harus bergerak progresif melalui inovasi dan teknologi agar tetap menjadi kekuatan.
Untuk itu, Wakil Rektor USK menawarkan beberapa gagasan strategis. USK siap membangun pusat riset dan konservasi digital yang mengelola digitalisasi manuskrip, museum virtual, hingga laboratorium bahasa daerah.
USK mengusulkan kerja sama untuk penyelamatan manuskrip Aceh yang tersebar di gampong dan dayah melalui restorasi dan digitalisasi berbasis komunitas.
Secara khusus, USK menawarkan penyusunan modul dan riset nasional tentang etika digital Islami berbasis kearifan lokal Aceh. Inisiatif ini dinilai sangat krusial di era modern.
“Untuk itulah, dengan dukungan Kementerian Kebudayaan, USK siap menjadi pusat kajian dan inkubasi strategi budaya digital yang memadukan Islam, adat Aceh, dan teknologi. Model ini dapat menjadi contoh nasional dalam menjaga identitas budaya di era modern,” tegas Prof. Mustanir.
Ia berharap, kunjungan Menteri Kebudayaan menjadi awal dari sinergi strategis yang kokoh, untuk membangun Aceh sebagai pusat budaya digital Islami yang berpengaruh secara nasional maupun global.



