Banda Aceh, Infoaceh.net — Aceh adalah tanah yang selalu tegar di setiap hantaman takdir, kini kembali menyimpan luka yang tak bisa kering hanya dengan menunggu waktu.
Air banjir memang telah surut, tetapi derita yang ditinggalkannya masih basah di halaman rumah yang roboh, di ruang kelas yang dipenuhi lumpur, dan di hati ribuan keluarga yang kini hidup di antara puing dan ketidakpastian.
Di tengah kabut duka itu, Pemerhati Kebijakan Publik dan Sosial Aceh, Drs M. Isa Alima, angkat suara yang bukan sekadar pendapat, melainkan gema kesedihan masyarakat. Suaranya halus namun tegas, membawa harapan sekaligus kegelisahan.
“Kami meminta kepada Presiden Prabowo melalui kementerian terkait agar memberikan dispensasi dan kompensasi bagi masyarakat terdampak banjir,” ujarnya, Sabtu (6/12), sebuah permohonan yang lahir dari kenyataan pahit di lapangan.
Ia merinci tiga langkah yang sangat dibutuhkan rakyat saat ini:
1. Menggratiskan dua bulan biaya rekening listrik bagi warga terdampak. Karena bagaimana mungkin rakyat diminta membayar listrik, sementara mereka bahkan tak lagi memiliki rumah untuk menyalakan lampu?Di banyak gampong, dinding tempat meteran listrik menempel sudah hanyut entah ke mana.
2. Memberikan kompensasi minimal Rp2.500.000 per KK. Dana itu bukan hadiah, bukan kemewahan, melainkan alat untuk menyusun kembali masa depan sederhana: tas sekolah, sepatu baru, buku tulis, pena, dan pakaian kering.
Semua yang hilang dalam hitungan jam ketika arus datang memecah hari atau membebaskan biaya spp bagi sekolah sekolah swasta yang melakukan pungutan kepada siswanya.
3. Menerbitkan/Penggantian kembali seluruh surat-surat berharga yang hilang ditelan bencana.Ijazah, KTP, akta, dan dokumen penting lain harus segera difasilitasi negara.
Sebab ketika kertas identitas hilang, bukan hanya nama yang lenyap, tapi akses hidup: sekolah tertutup, pekerjaan terhalang, bantuan tidak bisa diakses.
Di balik semua itu, Isa Alima mengingatkan hal yang lebih luas dan mendasar:
“Presiden Prabowo, sebagai Kepala Negara, kiranya dapat memberikan keamanan dan kenyamanan dalam segala hal, termasuk pemulihan trauma.”
Karena bencana alam selalu meninggalkan luka sosial, luka psikologis, dan kecemasan yang tidak bisa ditambal hanya dengan bantuan sembako.
Rakyat butuh jaminan bahwa negara hadir, benar-benar hadir.
Kini Aceh menatap Jakarta dengan mata yang lelah namun tetap percaya bahwa keadilan bisa turun jika suara-suara yang lirih ini didengar.
Di satu sudut meunasah, seorang ibu masih menjemur buku matematika anaknya yang sudah koyak terkena lumpur.
Di sudut lainnya, seorang ayah menggenggam serpihan dinding rumahnya sambil bertanya: “Bagaimana kami mulai lagi?”
Dan dari derita yang belum kering itulah, suara Isa Alima berdiri sebagai wakil rasa sakit rakyat:
“Kami memanggil negara, bukan untuk mengasihani kami, tetapi untuk memulihkan hidup yang patah.”
Aceh masih menunggu, dengan harapan yang tinggal tipis, namun tetap menyala di tengah puing-puing.



