Banda Aceh, Infoaceh.net — Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, duka masih menyelimuti puluhan ribu keluarga korban banjir bandang di Aceh. Di banyak desa terdampak, keceriaan anak-anak telah berganti dengan tangis kehilangan, sementara orang tua masih berjibaku mencari tempat berteduh yang layak.
Hingga kini, ribuan keluarga masih hidup dalam ketidakpastian. Rumah mereka hanyut, rusak parah, atau tak lagi layak huni.
Di tengah kondisi tersebut, Drs M. Isa Alima, Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik Aceh meminta perhatian serius dan langkah cepat dari pemerintah pusat maupun daerah.
Menurut Isa Alima, penyediaan hunian sementara harus menjadi prioritas utama sebelum pembangunan rumah permanen dilakukan.
Ia menegaskan, warga terdampak membutuhkan tempat tinggal yang aman agar dapat menjalani ibadah Ramadhan dengan tenang.
“Warga harus memiliki tempat tinggal, meskipun sementara, seperti rumah susun sederhana (rusuna). Selain itu, perlu disiapkan musala agar mereka bisa menjalankan salat tarawih. Ini bukan sekadar soal bangunan, tetapi soal rasa aman dan kesempatan beribadah dengan khusyuk,” ujar Isa Alima, Sabtu (20/12/2025).
Bagi banyak keluarga korban banjir, rumah permanen masih menjadi harapan yang jauh. Sementara Ramadhan semakin dekat, kebutuhan akan ruang untuk beribadah, sahur, berbuka puasa, dan berkumpul bersama keluarga menjadi semakin mendesak.
Rusuna dinilai sebagai solusi sementara yang manusiawi—tempat ibu bisa menyiapkan sahur, anak-anak belajar, dan warga saling menguatkan.
Isa Alima menekankan persoalan ini memiliki dimensi moral yang kuat.
“Pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab melindungi warganya. Tidak ada yang lebih mendesak selain memastikan mereka memiliki atap di atas kepala sebelum bulan suci tiba,” tegasnya.
Ia juga menilai koordinasi cepat dan efektif antara pemerintah pusat dan daerah sangat penting agar penyediaan hunian sementara berjalan optimal.
Fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, serta tempat ibadah harus dipastikan tersedia agar kehidupan sehari-hari dan ibadah puasa dapat berlangsung dengan layak.
Bagi para korban, rusuna bukan sekadar bangunan beton. Ia adalah simbol harapan. Setiap pintu menyimpan cerita perjuangan, setiap sudut mengandung doa, dan setiap atap menjadi pelindung dari trauma pasca-banjir.
Ramadhan bagi mereka bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang mencari ketenangan batin dan keberanian untuk bangkit.
Isa Alima berharap, perhatian yang cepat, tepat, dan berpihak dari pemerintah mampu mengubah kesedihan menjadi harapan.
Dengan langkah nyata, warga terdampak banjir dapat menyambut Ramadhan dengan iman yang teguh, hati yang tenang, dan keluarga yang tetap utuh—karena di setiap hunian sementara, tersimpan doa untuk masa depan yang lebih baik.



