Banda Aceh, Infoaceh.net — Pemerintah Aceh memberikan perhatian serius terhadap potensi meningkatnya penyakit menular di lokasi pengungsian pascabencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah daerah di Aceh.
Tuberkulosis (TBC) dan campak menjadi dua penyakit utama yang paling diwaspadai, mengingat padatnya hunian pengungsi serta keterbatasan sarana pendukung kesehatan.
Hal tersebut mengemuka dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi Penanggulangan Bencana Hidrometeorologi Aceh yang dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M. Nasir Syamaun, di Posko Hidrometeorologi Aceh, Kantor Gubernur Aceh, Rabu (24/12/2025).
Asisten I Sekda Aceh, M. Syakir, selaku Koordinator Klaster Kesehatan, mengungkapkan bahwa berdasarkan data terkini terdapat 9.204 penderita TBC di wilayah terdampak bencana.
Kondisi pengungsian yang padat serta tingginya mobilitas warga dinilai sangat berpotensi mempercepat penularan penyakit.
Senada dengan itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Aceh, Ferdiyus, menegaskan, TBC dan campak merupakan ancaman serius yang harus segera ditangani secara terkoordinasi.
“Salah satu langkah ideal adalah memisahkan tenda pengungsian antara penderita TBC dengan masyarakat umum. Namun, kami juga sangat khawatir dengan penularan campak, terutama pada anak-anak yang sulit dikontrol ruang geraknya,” ujar Ferdiyus.
Ia menambahkan setiap hari di lokasi pengungsian selalu terdapat kelompok rentan, seperti bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia. Kondisi ini membuat risiko wabah penyakit menular semakin tinggi.
“Kami paling khawatir terhadap campak dan TBC. Pemisahan pasien memang diperlukan, tetapi di lapangan, khususnya untuk anak-anak, hal ini sangat sulit dilakukan,” tambahnya.
Selain penyakit menular, keterbatasan air bersih di sejumlah titik pengungsian juga mulai memicu munculnya penyakit kulit.
Meski demikian, Ferdiyus memastikan ketersediaan obat-obatan, khususnya untuk penyakit kulit, masih mencukupi.
Saat ini, sebanyak 126 relawan kesehatan telah diterjunkan ke lapangan. Pada awal Januari 2026, Kementerian Kesehatan RI direncanakan akan menambah sekitar 600 relawan kesehatan.
Kendala utama yang masih dihadapi adalah akses transportasi dari posko ke desa-desa terpencil.
Melalui Health Emergency Operational Center (HEOC), layanan kesehatan telah menjangkau 6.073 orang, dengan total 71.764 kunjungan medis.
Penyakit yang paling banyak ditangani meliputi ISPA, penyakit kulit, diare, hipertensi, dan demam.
Untuk mendukung layanan kesehatan di lapangan, Pemerintah Aceh telah menyalurkan berbagai logistik kesehatan, di antaranya obat-obatan dan bahan medis habis pakai, makanan tambahan bagi balita dan ibu hamil, vitamin A, serta paket sanitasi.
Data Klaster Kesehatan juga mencatat jumlah kelompok rentan yang sangat besar, yakni 459.428 lansia, 394.250 balita, serta lebih dari 100 ribu ibu hamil dan ibu menyusui.
Dalam arahannya, Sekda Aceh M. Nasir Syamaun menekankan agar Klaster Kesehatan bekerja cepat dan bersinergi dengan klaster lain, terutama untuk memastikan sanitasi dan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi guna mencegah terjadinya wabah penyakit.
Di sektor lain, Basarnas masih melakukan pencarian terhadap 31 korban yang dinyatakan hilang, dengan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah menjadi wilayah dengan jumlah korban hilang terbanyak. Pencarian dilakukan menggunakan anjing pelacak dan alat berat.
Sementara itu, Asisten III Sekda Aceh, Muhammad Diwarsyah, melaporkan sebanyak 740 dapur umum saat ini melayani 438.804 jiwa, termasuk warga yang belum dapat memasak di rumah masing-masing.
Distribusi air bersih telah mencapai 2.568.350 liter menggunakan 21 unit truk tangki di delapan kabupaten. Selain itu, 42 unit toilet portabel serta sumur bor telah disiapkan di sejumlah titik rawan, khususnya di Pidie Jaya, Bireuen dan Aceh Tamiang.
Di sektor pendidikan, tercatat 549 sekolah terdampak, dengan 181 sekolah mengalami kerusakan berat.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Murtalamuddin, meminta perhatian khusus terhadap kebutuhan perlengkapan sekolah bagi siswa terdampak.
Sementara di sektor pertanian, sekitar 72 ribu hektare sawah di 18 kabupaten/kota dilaporkan mengalami kerusakan dan membutuhkan penanganan segera.
Sekda Aceh menginstruksikan percepatan penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana (R3P) dengan target penyelesaian dalam waktu 90 hari. Ia menegaskan bahwa sinkronisasi dan validasi data kerusakan infrastruktur serta rumah warga menjadi dasar utama mitigasi risiko dan pemulihan ekonomi Aceh ke depan.



