Banda Aceh, Infoaceh.net — Momentum akhir tahun hendaknya menjadi ruang perenungan mendalam bagi umat Islam untuk mengambil hikmah dari berbagai peristiwa besar yang terjadi.
Dua tragedi besar yang terjadi menjelang akhir tahun, yakni tsunami Aceh 26 Desember 2004 atau 21 tahun lalu, dan banjir besar di Aceh-Sumatera pada 26 November 2025 atau sebulan yang lalu, menjadi pelajaran penting bagi kehidupan beriman dan bermasyarakat.
Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tgk Saifuddin A. Rasyid menyampaikan hal itu dalam khutbah Jum’at di Masjid Jamik Kopelma Darussalam, Kampus Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, 26 Desember 2025 M bertepatan 6 Rajab 1447 Hijriah.
Menurutnya, kedua bencana besar tersebut telah merenggut banyak nyawa, menghancurkan harta benda, dan merusak harapan dan masa depan masyarakat.
Meski demikian, sebagai hamba yang beriman, umat Islam dituntut berbaik sangka kepada Allah Swt dan menggali hikmah di balik setiap musibah.
“Musibah bukan sekadar peristiwa duka, tetapi juga harus kita kaji secara bersahaja dan cerdas. Mengapa Allah menimpakan musibah itu, dan apa pelajaran penting yang perlu kita ambil untuk memperbaiki langkah kehidupan kita serta generasi yang akan datang,” ujar Tgk Saifuddin.
Ia merujuk firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 155 hingga 157, bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan orang beriman. Allah menjanjikan kemudahan, kesuksesan, dan kejayaan, namun dengan syarat terjaganya iman dan meningkatnya ketakwaan.
Namun demikian, lanjutnya, Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa bencana bisa terjadi akibat ulah manusia sendiri. Dalam Surah Ar-Rum ayat 41 ditegaskan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan akibat perbuatannya dan kembali ke jalan yang benar.
Tgk Saifuddin menyinggung bencana banjir besar di Sumatera yang menurutnya tidak lepas dari kesalahan tata kelola ekosistem hutan, keserakahan sebagian pengusaha, dan kekeliruan oknum pejabat yang bertindak atas nama negara.
Ia mengingatkan, masyarakat turut memikul tanggung jawab karena sikap diam dan abai yang berlangsung lama.
Selain kerusakan lingkungan, ia menilai musibah juga menjadi peringatan atas kelalaian spiritual umat. Gaya hidup hedonis, kecintaan berlebihan pada dunia, serta sikap permisif terhadap kemaksiatan dinilainya sebagai faktor yang mengundang murka Allah.
“Sering kita melihat kemaksiatan dilakukan di depan mata, namun kita biarkan seolah itu hal biasa. Bahkan mungkin sebagian dari kita terlibat langsung di dalamnya. Semua itu dicatat oleh Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban,” tegasnya.
Ia mengingatkan tidak ada seorang pun yang benar-benar aman dari musibah. Tsunami Aceh 2004 dan banjir besar 2025 menjadi bukti bahwa Allah memiliki banyak “pasukan”, bukan hanya air, tetapi juga api, angin, bebatuan, dan energi lainnya, sebagaimana peringatan Allah dalam QS Al-A’raf ayat 96 sd 99 agar manusia tidak merasa aman dari azab-Nya.
Tgk Saifuddin mengajak umat Islam menjadikan akhir tahun sebagai momentum evaluasi diri. Ia mengingatkan tentang bahaya istidraj, yakni kondisi ketika Allah membiarkan manusia terus berbuat salah tanpa segera ditegur.
“Mari berhenti dari kemaksiatan di tahun ini, bertaubat, dan tidak melanjutkannya ke tahun berikutnya. Umur kita tidak ada yang tahu,” ajaknya.
Ia meminta umat Islam mempersiapkan tahun mendatang dengan memperkuat pondasi iman, struktur ketakwaan, serta mengisinya dengan amal saleh.
Di akhir khutbah, Tgk Saifuddin memanjatkan doa agar musibah besar seperti tsunami 2004 dan bencana ekologis 2025 tidak terulang kembali, serta agar generasi mendatang hidup dalam keberkahan dan kejayaan karena iman dan ketakwaan. (Sayed M. Husen)



