Lhokseumawe, Infoaceh.net — Nama Kolonel Inf Ali Imran, Danrem 011/Lilawangsa, kembali mengemuka dan memantik perdebatan luas di Aceh.
Putra Aceh yang memimpin satuan teritorial TNI di wilayah ini kerap tampil di garis depan dalam peristiwa-peristiwa krusial, dari urusan pengamanan bantuan banjir hingga pembubaran massa pembawa bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Gaya komando yang tegas, cepat, dan cenderung keras membuat Ali Imran dipuji sekaligus dikritik.
Sorotan tajam bermula pada 13 Desember 2025. Ratusan prajurit TNI di bawah komando Danrem 011/Lilawangsa turun ke Aceh Utara untuk mengamankan bantuan korban banjir.
Sejumlah logistik yang sebelumnya berada di Pelabuhan Krueng Geukuh dan gudang Pendopo Bupati Aceh Utara dipindahkan ke posko Korem 011/Lilawangsa. Langkah itu memicu kegaduhan.
Sejumlah pihak menuding terjadi pengambilan paksa bantuan, sementara relawan dan pengelola logistik mempertanyakan peran TNI dalam distribusi bantuan kemanusiaan.
Ali Imran menepis tudingan tersebut. Ia menegaskan pengamanan dilakukan untuk mencegah penjarahan dan penyalahgunaan bantuan oleh oknum tak bertanggung jawab, termasuk ormas yang disebut-sebut hendak memanfaatkan logistik untuk kepentingan kelompok.
Menurutnya, posko Korem telah ditetapkan sebagai bagian dari pusat koordinasi logistik agar distribusi berjalan tertib dan aman.
Namun penjelasan itu tak serta-merta meredam kritik. Kalangan sipil dan sejumlah tokoh lokal menilai TNI keliru mengambil peran dalam situasi tanggap darurat.
Kritik paling keras menyebut langkah Danrem sebagai bentuk dominasi militer di ruang sipil, yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah daerah dan instansi penanggulangan bencana. Isu ini sempat memanas dan menimbulkan ketegangan antara aparat dan sebagian elemen masyarakat.
Belum reda polemik bantuan banjir, Ali Imran kembali jadi pusat perhatian pada 25 Desember 2025. Kali ini, ia memimpin langsung pasukan TNI membubarkan aksi sekelompok warga yang membawa dan mengibarkan bendera GAM di Simpang Kandang, Lhokseumawe.
Aksi tersebut berlangsung di badan jalan nasional dan sempat mengganggu arus lalu lintas. Dalam operasi itu, TNI mengamankan bendera, membubarkan massa, serta menangkap seorang pria yang diduga membawa senjata api rakitan dan senjata tajam.
Pembubaran aksi bendera GAM memunculkan respons beragam. Sebagian warga menilai langkah Danrem sebagai tindakan tegas untuk menjaga stabilitas keamanan dan mencegah bangkitnya simbol-simbol lama yang berpotensi memicu konflik.
Namun tak sedikit pula yang menilai kehadiran TNI bersenjata di ruang publik, berhadapan langsung dengan warga sipil, sebagai tindakan yang berisiko membuka kembali luka lama konflik Aceh.
Ali Imran sendiri dikenal bukan perwira biasa. Lulusan Akademi Militer tahun 2000 ini pernah bertugas di satuan elite Kopassus, Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, hingga Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Saat dipercaya menjabat Danrem 011/Lilawangsa, ia tercatat sebagai salah satu Danrem termuda di Indonesia.
Statusnya sebagai putra Aceh kerap menjadi sorotan, terutama ketika ia harus mengambil keputusan keras di tanah kelahirannya sendiri.
Rangkaian peristiwa tersebut membentuk rekam jejak Ali Imran sebagai Danrem dengan gaya kepemimpinan konfrontatif sekaligus operasional.
Di satu sisi, ia dipandang sebagai perwira yang sigap menjaga keamanan dan ketertiban. Di sisi lain, langkah-langkahnya memunculkan pertanyaan serius tentang batas peran militer di ruang sipil Aceh pascakonflik.
Perdebatan itu masih terus bergulir, dan nama Ali Imran tampaknya akan tetap berada di pusaran kontroversi.



