Jakarta, Infoaceh.net — Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Provinsi Aceh pada 26 November 2025 lalu meninggalkan dampak yang sangat serius.
Sebanyak 13 desa di Aceh dinyatakan hilang, sementara 1.455 pemerintahan gampong lumpuh dan tidak dapat menjalankan pelayanan publik kepada masyarakat.
Data tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta Pusat, Senin (29/12/2025).
Tito mengungkapkan, secara nasional terdapat 22 desa yang dinyatakan hilang akibat banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Dari jumlah tersebut, Aceh menjadi wilayah dengan desa hilang terbanyak.
“Data kami menunjukkan bahwa total desa yang hilang akibat bencana ini berjumlah 22 desa. Di Aceh ada 13 desa yang hilang atau rusak berat, di Sumatera Utara ada 8 desa, dan di Sumatera Barat ada 1 desa,” ujar Tito.
Tak hanya desa yang hilang, Kemendagri juga mencatat 1.580 kantor desa di tiga provinsi terdampak mengalami kerusakan sehingga pemerintahan desa tidak dapat berjalan normal.
Dari angka tersebut, Aceh kembali menjadi wilayah dengan dampak paling besar.
“Total pemerintahan desa yang lumpuh di Aceh mencapai sekitar 1.455 gampong. Sementara di Sumatera Utara ada 93 desa dan di Sumatera Barat sebanyak 32 desa,” jelas Tito.
Menurutnya, kerusakan terparah terjadi di wilayah Aceh Utara dan Aceh Tamiang, dengan jumlah kantor desa terdampak mencapai lebih dari 800 unit.
“Paling banyak kantor desa yang rusak dan terdampak itu berada di Aceh Utara dan Aceh Tamiang,” tambahnya.
Sebagai langkah pemulihan, Tito menegaskan bahwa Kemendagri memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan pemerintahan desa dapat kembali berjalan, terutama dalam pelayanan administrasi dasar kepada masyarakat.
Untuk itu, Kemendagri akan mengirimkan 1.054 personel Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) beserta para pengasuhnya ke wilayah terdampak bencana.
“Tugas mereka ada dua. Pertama, membantu administrasi pemerintahan desa. Kedua, membantu menghidupkan kembali roda pemerintahan desa-desa yang lumpuh akibat bencana,” terang Tito.
Ia menjelaskan, penugasan Praja IPDN ini akan berlangsung selama satu bulan dan menjadi bagian dari kurikulum akademik, yang setara dengan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) riil.
“Ini masuk sebagai bagian dari kurikulum mereka. Mereka akan berhadapan langsung dengan permasalahan nyata di lapangan, sambil membantu masyarakat dan pemerintah desa,” katanya.
Tito berharap, langkah ini dapat mempercepat pemulihan administrasi pemerintahan desa sekaligus memastikan masyarakat terdampak tetap mendapatkan pelayanan publik meski dalam kondisi pascabencana.
“Intinya, pemerintahan desa tidak boleh berhenti. Negara harus hadir sampai ke tingkat paling bawah,” pungkas Tito.



