BENER MERIAH — Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyusun Rancangan Qanun (Raqan) Tata Niaga Komoditas Aceh (TNKA). Dalam rancangan qanun itu, akan diatur aturan agar komodititas Aceh diekspor dari pelabuhan yang ada di Aceh sendiri.
Seperti diketahui saat ini, sejumlah komoditas Aceh masih diekspor melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Hal itu dikarenakan sejumlah pelabuhan di Aceh belum mampu melakukan kegiatan ekspor impor skala besar.
Ketua Pansus Raqan TNKA DPRA Yahdi Hasan, mengatakan guna merampungkan rancangan qanun tersebut, tim pansus mengawali kegiatan meninjau Koperasi Permata Gayo, yang merupakan salah satu eskportir terbesar di Bener Meriah, yang telah mengeskpor kopi Gayo ke berbagai negara di Eropa dan Asia. Kegiatan itu dilakukan guna mencari masukan untuk tim pansus menyusun Raqan TNKA.
“Koperasi ini memiliki 2 ribu lebih anggota dan telah mengeskpor kopi hingga 3 ribu lebih kontainer setiap tahunnya ke berbagai negara melalui pelabuhan di Sumatera Utara. Satu kontainer kopi Gayo yang diekspor tersebut memiliki nilai Rp 1,4 miliar,” ungkap Yahdi Hasan, usai mengujungi Koperasi Permata Gayo bersama anggota Pansus KNTA lainnya, yang berada di Desa Simpang Utama, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Jumat (10/9).
Selain Yahdi Hasan selaku Ketua Pansus, kunjungan itu turut didampingi sejumlah Anggota Pansus KNTA lainnya yakni Khalili (Fraksi Partai Aceh), Khairil Syahrial (Fraksi Gerindra) Murhaban Makam (Fraksi PPP), Zaini Bakri (Fraksi PPP), Kartini Ibrahim (Fraksi Gerindra), Nova Zahara (Fraksi PKS), Martini (Fraksi Partai Aceh), Tantawi (Fraksi Demokrat), Wakil Ketua Banleg DPRA Bardan Sahidi (Fraksi PKS), Dr. Abrar (Tenaga Ahli DPRA dari Universitas Syiah Kuala), serta perwakilan Disperindag Aceh, Dinas ESDM, serta Biro Hukum Setda Aceh.
Berdasarkan informasi yang dihimpun tim pansus dari pihak koperasi, Yahdi Hasan menjelaskan, biaya yang harus dikeluarkan dari pihak eksportir jika harus mengirim kopi melalui pelabuhan Sumatera Utara adalah Rp 10 ribu untuk setiap kilogramnya.
“Bayangkan saja, satu kontainer itu jumlah kopi yang diekspor mencapai 19 ton. Jadi tujuan dari pembentukan qanun ini adalah salah satunya untuk memangkas biaya itu, dimana jika rancangan qanun ini rampung, maka seluruh komoditas Aceh, apakah itu hasil bumi, perikanan atau lainnya itu diatur harus melalui pelabuhan yang ada di Aceh,” ungkap politisi Partai Aceh ini.
Dengan adanya aturan ini, Yahdi Hasan menegaskan, akan banyak berdampak positif kepada perekonomian Aceh, dimana dengan tidak boleh mengekspor melalui pelabuhan luar, maka pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh, seperti Lhokseumawe dan Langsa harus dihidupkan.
“Ini tentu akan menyerap banyak tenaga kerja. Ada 22 komoditas ekspor Aceh yang itu jika bisa dimaksimalkan dengan baik, maka juga akan meningkatkan Pendapatan Asli Aceh (PAA) dan Aceh yang dana otonomi khusus (Otsus) nya akan habis, juga diharapkan bisa mandiri, jika pelabuhan-pelabuhan di Aceh hidup,” ungkap anggota dewan asal Dapil Aceh Tenggara – Gayo Lues ini.
Selain meminta saran dan masukan dengan eksportir kopi, Yahdi Hasan menambahkan, Tim Pansus TNKA juga akan menghimpun masukan dari berbagai pihak lainnya, baik elemen masyarakat di berbagai sektor, seperti perikanan dan pertanian, akademisi, tenaga ahli (akademisi), serta berbagai intansi pemerintah terkait lainnya.
“Malam ini kami (Jum’at malam, 10 September 2021) kami akan menggelar pertemuan dengan berbagai elemen dan instansi pemeritah terkait, untuk membahas rancangan qanun ini,” ujarnya.
Sementara Anggota DPRA Dapil Aceh Tengah – Bener Meriah Bardan Sahidi, yang memfasilitasi pertemuan dengan eksportir kopi itu mengatakan peran pemerintah belum hadir dalam persoalan mengatasi persoalan agar Aceh tidak lagi mengekspor komoditas dari luar Aceh.
“Ketika gas dulu ada di Lhokseumawe, pelabuhan yang di Krueng Geukueh itu bisa hidup, pengapalannya langsung ke Korea. Tapi, ketika gas tidak ada lagi, maka pelabuhannya juga tutup. Artinya bahwa, ada rantai perdagangan atau mafia dagang di Sumatera Utara yang tidak memberikan kesempatan kepada Aceh untuk bisa mengekspor sendiri. Padahal pelabuhan di Belawan itu sudah padat sekali, tetapi beberapa di perairan Aceh pelabuhannya terbengkalai tidak digunakan,” ungkapnya.
Sementara itu ketika ditanya apakah nantinya pelabuhan di Aceh siap jika aturan larangan ekspor komoditas dari luar Aceh, Bardan Sahidi mengatakan kesiapan itu harus segera dilakukan, mengingat dana otonomi khusus (Otsus) Aceh akan berakhir pada 2027.
“Jika 22 cluster komoditas unggulan ekspor Aceh itu bisa dimaksimalkan dan diekspor ke berbagai negara secara berkelanjutan, tentu tidak akan ada kekhawatiran banyak pihak akan berakhirnya Otsus Aceh. Jika pelabuhan Aceh hidup, maka Aceh akan memiliki pendapatan yang mandiri secara ekonomi,” ungkapnya.
“Soal apakah pelabuhan Aceh siap jika aturan ini diberlakukan, pertanyaannya mau tunggu siap sampai kapan? Mau nggak mau Aceh harus siap, dan Pemerintah Aceh melalui instansi terkait harus mempersiapkannya. Apapun ceritanya, Aceh harus siap secara mandiri mengekspor sendiri ke luar negeri hasil komoditas Aceh,” tutup Bardan Sahdiri yang merupakan inisiator Raqan TNKA. (IA)