Jakarta — Perkumpulan Suaka meminta pemerintah Indonesia segera menyelamatkan sekitar 72 pengungsi Rohingya yang saat ini masih terombang-ambing di perairan Bireuen, Aceh. Suaka mengingatkan RI sudah punya aturan soal penanganan pengungsi.
“Indonesia sudah mempunyai Perpres 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi, jelas apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait ketika ditemukannya pengungsi di laut,” kata Ketua Perkumpulan Suaka, Atika Yuanita, Senin (27/12/2021) seperti dilansir dari detikcom.
Indonesia diminta berkoordinasi dengan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) untuk menangani pengungsi Rohingya.
“Setelah diselamatkan, harus segera dikoordinasikan kepada UNHCR, sebagai organisasi yang mendapatkan mandat dari pemerintah untuk penentuan status pengungsi,” sambungnya.
Atika menyinggung soal Perpres 125/2016 yang sudah memasuki tahun kelima sejak disahkan.
Menurutnya, peraturan ini secara jelas menjabarkan proses dan lembaga-lembaga yang terlibat ketika terjadi penemuan pengungsi di wilayah Indonesia.
Berdasarkan informasi yang dari lapangan, kondisi mesin kapal rusak, menyebabkan air mulai masuk ke dalam kapal. Dari 72 orang di atas kapal, terdapat sedikitnya 10 orang laki-laki, sisanya adalah perempuan dan anak-anak.
Bantuan makanan dan minuman sudah diberikan secara sigap oleh para nelayan Aceh.
“Praktik baik penanganan dan pemenuhan hak kepada pengungsi sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah Aceh dan jajarannya saat menyambut pengungsi Rohingya tahun 2020. Terkhusus apresiasi dan peran serta masyarakat dan NGO lokal yang secara sigap untuk membantu perlindungan HAM bagi pengungsi Rohingya di Aceh,” tambahnya.
Perkumpulan Suaka berharap pengungsi Rohingya yang masih terombang-ambing di perairan Bireuen segera diselamatkan ke darat.
Perkumpulan Suaka adalah jaringan masyarakat sipil sukarela, yang beranggotakan individu maupun organisasi yang bertujuan untuk bekerja bagi perlindungan dan kemajuan hak asasi manusia para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
Amnesty International Indonesia juga mendesak Pemerintah Indonesia menyelamatkan satu kapal berisi sekitar 72 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut Kabupaten Bireuen, Aceh, sejak Ahad (26/12). Mereka menilai Indonesia melepas kewajiban internasional kalau menolak atau mengirim lagi mereka ke laut lepas.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan telah menerima informasi keberadaan pengungsi Rohingya itu dari nelayan Aceh.
“Mereka masih meminta pihak berwenang agar segera menolong mereka,” katanya, Senin (27/12) seperti dilansir sari kumparan.
Karena itu, menurut Usman, Kepolisian Air dan Udara, Angkatan Laut, dan Pemerintah daerah dan pusat harus segera menyelamatkan para pengungsi yang kemungkinan besar sudah berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan berada di laut.
“Ini persoalan hidup dan mati. Ada juga perempuan dan anak-anak. Kondisi kesehatan mereka juga harus dipastikan,” ujarnya.
Menurut Usman, nelayan Aceh telah memberi teladan betapa semua pihak wajib menolong orang yang terapung di laut, tanpa melihat kewarganegaraan mereka. Pasokan makanan dan minuman seadanya telah nelayan berikan.
Karenanya Pemerintah Indonesia, kata dia, dengan pengalaman penyelamatan sebelumnya, bisa kembali menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan, yakni dengan mengutamakan kemanusiaan. “Apalagi sekarang Indonesia menjadi Presiden G-20,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, kapal pengungsi Rohingya itu awalnya terpantau nelayan Bireuen pukul 11 siang Ahad (26/12). Jaraknya sekitar 70 mil dari daratan antara Peulimbang dan Peudada, Kabupaten Bireuen.
Nelayan langsung melaporkan ke aparat keamanan begitu melihat kapal Rohingya. Sekitar 72 pengungsi Rohingya berada dalam kapal itu. (IA)