BANDA ACEH – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh memberikan pandangan terkait aktivitas pengambilan galian C di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Baro Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie telah berdampak terhadap fasilitas umum.
Tiang jembatan rangka baja di Gampong Jijiem, Kecamatan Keumala, Pidie telah terkikis dampak galian c.
Saat ini, memang adanya tiang jembatan yang telah bolong-bolong akibat pengikisan.
Jembatan rangka baja sepanjang 180 meter itu menghubungkan Kecamatan Keumala dengan Kecamatan Sakti dengan sumber dana APBA.
“Saat ini kondisi kedua tiang jembatan rangka baja yang menghubungkan Kecamatan Keumala dengan Kecamatan Sakti sudah mulai terkikis diduga akibat adanya aktivitas galian C tersebut. Jembatan rangka baja yang dibangun dengan anggaran Rp 16 miliar terancam ambruk,” Direktur Eksekutif WALHI Aceh Ahmad Shalihin, Selasa (11/1).
Menurutnys, kegiatan galian C yang ada sekitar aliran sungai Keumala tersebut kegiatan ilegal yang tidak memiliki izin.
Seharusnya Pemerintah Kabupaten Pidie sudah bisa melakukan penertiban dengan melibatkan aparatur penegak hukum.
Aktivitas galian C di aliran Krueng Baro di Kecamatan Keumala tersebar di tiga titik, yakni di Gampong Cot Nuran, Gampong Rheng dan Gampong U Gadeng.
Pemerintah Pidie hanya membentang spanduk untuk melarang orang melakukan Galian C. Akan tetapi tidak memberikan kesadaran kepada masyarakat ketika galian C yang diambil berdekatan dengan jembatan akan memberikan dampak terhadap daya tahan jembatan.
Ironisnya kekhawatiran tersebut dianggap hal yang biasa oleh Pemerintah Pidie sehingga menimbulkan daya rusak yang mengakibatkan longsor dan erosi dalam kawasan tersebut.
Selain itu juga Pemerintah Aceh harus melakukan tindakan tegas dalam penertiban galian C sebelum terjadinya bencana.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 ayat 13a.
Surat lzin Penambangan Batuan (SIPB) adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu.
Pasal 35 (1) Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (4) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Secara peraturan perudang-undangan, aparat penegak hukum sudah dapat melakukan penindakan terhadap pelaku Galian C Ilegal tanpa ada laporan dari masyarakat, apalagi kegiatan pengambilan Galian C tersebut tidak dilaporkan kepada aparatur ditingkat kecamatan dan Pemerintah tidak harus menerima pengaduan terlebih dahulu baru melakukan penindakan terhadap pelaku Galian C di Keumala, hal ini menjadi aneh ketika Pemerintah harus menunggu pengaduan. (IA)