BANDA ACEH – Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) M Rizal Falevi Kirani mengingatkan Sekda Aceh Taqwallah agar tidak mencari panggung dan over acting di depan Pj Gubernur Aceh dalam penanganan kasus stunting di Aceh.
Ia mengatakan, Aceh bekerja untuk penanganan stunting bukan baru di tahun 2022, tetapi sudah sejak 2018 dengan lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Stunting di Aceh. Berdasarkan Pergup itu kemudian dibentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Stunting Aceh.
“Untuk itu kita minta kepada Sekda jangan over acting di depan Pj Gubernur. Jangan seolah-olah Pemerintah Aceh sebelumnya tidak bekerja. Sekda harus memberi informasi yang benar dan utuh pada Pj Gubenur sehingga Gubernur bisa memberi arahan kerja berdasarkan evaluasi terhadap aktivitas sebelumnya,” kata M Rizal Falevi Kirani dalam keterangannya, Jum’at, 2 September 2022.
Berdasarkan pedoman dalam Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2018, dibentuk Rumoh Gizi Gampong (RGG) yang menjadi metode penanganan dan pencegahan stunting di Aceh.
“Jadi, bukan dibuat yang baru seperti GISA (Gerakan Imunisasi dan Stunting Aceh (GISA) yang hanya akan membuat bingung masyarakat dan memulai sesuatu program yang baru di masyarakat gampong dan pihak SKPA,” ujarnya.
Falevi menilai GISA yang didengungkan Sekda Aceh tidak menyentuh substansi stunting, karena kerjanya sporadis dan insidental. Stunting itu adalah kejadian yang muncul dari proses yang panjang dan dibutuhkan waktu yang 3-6 bulan untuk bisa menanganinya.
Menurut Falevi, pemberian tablet vitamin, PMT, dan bantuan periodik bukanlah cara dalam penanganan stunting, melainkan dengan cara memberikan makanan yang seimbang gizi dan protein untuk 3 kali makan setiap hari selama 3-6 bulan lamanya.
“Dalam hal inilah Presiden (BKKBN) membuat program Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS) yang terdiri pada 3 kegiatan utama yaitu pengumpulan donasi, pelibatan pihak ketiga, dan pengelolaan dana. Jadi, BAAS ini bukan mewajibkan SKPA bertanggung jawab perwilayah kabupaten seperti yang dilakukan Sekda,” tutur politikus PNA itu.
Falevi menilai GISA yang mengharuskan hampir semua SKPA turun ke lapangan, hanyalah kegiatan menghamburkan SPPD (APBA).
Bahkan SKPA yang tidak berhubungan langsung dalam penurunan stunting ikut turun, apalagi dipastikan tidak semua SKPA memahami dengan baik persoalan stunting dan metode penanganannya.
“Itulah sebabnya kita meminta Pak Gubernur segera menghentikan aktivitas tersebut,” tegasnya.
Menurut Falevi, stunting tersebut membutuhkan konvergensi program dari semua stakeholder yang mampu memastikan warga stunting mendapatkan asupan gizi dengan kalori yang cukup serta dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah.
Program RGG adalah mekanisme program pencegahan dan penanganan stunting yang memastikan masyarakat gampong sebagai subjek dan dibantu langsung oleh pihak Puskesmas yang didukung pemerintah kabupaten/kota dan mendapat asistensi dan kordinasi dari Pemerintah Aceh dalam hal ini SKPA.
RGG itu program yang memastikan warga stunting mendapat bantuan makan dengan gizi dan protein yang cukup untuk 3 kali sehari selama 3-6 bulan. RGG juga dapat mengajarkan kepada masyarakat bagaimana mencegah dan menangani stunting dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar lingkungan masyarakat.
Pengolahan makanan bergizi dari sumber pangan yang ada di sekitar rumah, ketahanan pangan mandiri dari pekarangan rumah. Bukan hanya sumber gizi dari suplemen makanan.
“Leading sector harus bisa memetakan penderita stunting per gampong by name by address sehingga penanganannya betul tepat sasaran bukan hanya slogan-slogan dan stempel stiker di mobil dan lain sebagainya,” pungkas Falevi. (IA)