Banda Aceh — Potensi industri dan produk halal yang dimiliki Provinsi Aceh yang menerapkan syariat Islam saat ini dinilai sangat prospektif di masa ‘New Normal’ atau kenormalan baru di tengah masih berlangsungnya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Hal itu disampaikan Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, drh. Fakhrurrazi, MP dan Manajer Fungsi Pelaksanaan Pengembangan UMKM Bank Indonesia Kantor Perwakilan Aceh, Yason Taufik Akbar, pada webinar series 1 secara online (daring), dengan mengusung topik ‘New Normal dan Prospek Industri Halal di Provinsi Aceh’.
Webinar yang dilaksanakan Pusat Studi Halal (PSH) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry, Rabu (17/6) ini, disiarkan melalui media Zoom Cloud Meetings yang dihadiri oleh 100 peserta dari seluruh Indonesia dan negara tetangga, Malaysia.
Acara dibuka Dekan FEBI, Dr. Zaki Fuad, M.Ag yang menyampaikan potensi industri halal sangat besar di Aceh. Sebagai daerah yang telah menerapkan syariat Islam sejak lama, yang tidak hanya terbatas pada usaha kuliner, tetapi juga ke sektor industri lainnya, seperti tekstil, kerajinan tangan, obat-obatan herbal, dan bahkan keuangan syariah.
Hal ini telah dibuktikan dengan ditetapkannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang mewajibkan seluruh industri jasa keuangan yang ada di Aceh untuk menyediakan layanan keuangan hanya yang berbasis syariah saja.
Selanjutnya, webinar industri halal yang dimoderatori Jalaluddin, MA (Ketua PSH FEBI UIN Ar-Raniry), mengawali sesi diskusinya dengan mengangkat fokus LPPOM MPU Aceh dalam usahanya memberikan sertifikasi halal, khususnya kepada pelaku usaha UMKM di Aceh.
“Ketika ada pelaku usaha yang mendaftarkan usahanya untuk diinspeksi agar layak untuk mendapatkan sertifikat halal, maka tim dari LPPOM MPU Aceh akan menjadwalkan kunjungan atau survey ke lokasi usaha yang dimaksud untuk melakukan penilaian kelayakan,” ujar drh. Fakhrurrazi.
Pernyataan ini bukan tanpa sebab. Di zaman yang semakin canggih dengan perkembangan teknologi dan revolusi industri 4.0, konsumen akan semakin jeli ketika memutuskan membeli dan mengonsumsi sebuah produk. Apalagi seorang konsumen muslim, pastinya fokus utama mereka adalah kehalalan produk yang mereka pakai dan konsumsi. Faktor halal ini tidak hanya pada produk akhirnya.
Contohnya pada produk olahan daging, sebuah makanan yang halal haruslah tersertifikasi halal mulai proses penangkapan atau pemeliharaannya, pemberian pakan, penjagalan/pemotongan, pengolahan daging sampai proses pengemasan. Hal ini akan memberikan rasa aman dan nyaman kepada konsumen kalau semua proses tersebut dipastikan halal dan bersertifikasi.
“Selama ini, fokus kita hanya pada produk akhir. Kalau sudah ada sertifikasi halal di kemasan, berarti dia halal. Tapi bagaimana dengan peternakannya, proses penyembelihannya, proses pengolahan daging dan lainnya. Itu juga harus dipastikan dilakukan secara halal dan sesuai aturan-aturan yang syariat agama kita. Jangan sampai kita kalah dengan pelaku usaha muslim di negara-negara minoritas Islam yang sudah terlebih dahulu berpikir ke hal-hal seperti ini”, lanjutnya.
drh. Fakhrurrazi kemudian melanjutkan pemaparan terkait pengajuan sertifikasi halal yang mungkin agak terhambat di masa pandemi Covid-19 seperti ini.
Kadangkala ada ketidaksiapan dari pelaku usaha ketika akan dilakukan kunjungan untuk penilaian, dan ada masanya tim dari LPPOM MPU Aceh kesulitan turun ke lapangan, karena harus mengikuti protokol kesehatan yang wajib diikuti selama masa pandemo dan mengikuti aturan-aturan masa New Normal seperti ini.
Namun, ia memastikan tidak ada pengajuan yang diabaikan, atau tidak ditindaklanjuti. “Karena pengajuan sertifikasi halal ini merupakan prioritas yang harus disegerakan, karena terkait dengan kegiatan ekonomi orang banyak yang berhubungan dengan konsumsi dan produksi. Sudah menjadi tugas kita menjamin dan memastikan produk yang akan dijual itu halal,” terang drh.bFakhrurrazi.
Webinar kemudian dilanjutkan dengan pemaparan kedua oleh Yason Taufik Akbar, yang mengangkat fokus pembahasan ke arah peluang Industri halal di tengah pandemi Covid-19 dan dampaknya kepada pergeseran konsumsi dan produksi pelaku ekonomi.
“Karena pandemi ini, banyak gangguan pada aktifitas perekonomian dan mengganggu stabilitas keuangan secara umum. Efek paling dirasakan adalah menurunnya daya beli masyarakat dan terganggunya aktifitas ekspor-impor,” tuturnya.
“Di sektor industri halal, juga akan terjadi pergeseran tren usaha, dari yang tadinya mengalami tren naik dari segi penjualan dan keuntungan, pada masa pandemi ini akan mengalami tren pasif dan cenderung menurun, karena pembatasan aktifitas masyarakat dan lainnya.
Sebaliknya, akan ada sektor-sektor usaha yang mengandalkan pengiriman, atau digital marketing dalam memasarkan produknya, justru akan booming dan mengalami tren peningkatan omset sangat baik.
Lebih jauh, Yason memaparkan kepada audiens yang rata-rata akademisi, mahasiswa dan pelaku usaha UMKM agar kampanye industri halal ini tidak hanya sebatas makanan dan keuangan syariah saja, tapi lebih luas dari itu.
Sudah seharusnya memikirkan untuk menguasai pasar kosmetik halal, lifestyle halal, rumah sakit halal, dan lainnya.
“Sudah saatnya Indonesia, khususnya Aceh, menjadi produsen sektor usaha halal, memasarkan produk-produknya tidak hanya di ruang lingkup nasional, tetapi juga internasional. Sudah saatnya kita menjadi pemain utama, tidak lagi sebagai konsumen. Apalagi dengan memanfaatkan teknologi dan situasi New Normal seperti saat ini, dengan dukungan sertifkasi halal dari LPPOM MPU Aceh, kita bisa mulai merambah pasar internasional”, pungkasnya. (IA)