Pemilu 2024 Sekedar Basa-basi Demokrasi
Oleh: Kolonel Inf (Purn) Drs Sri Radjasa Chandra MBA
PENDIDIKAN politik di era reformasi adalah praktek politik tidak jujur pada bangsa, kita selalu berkoar tentang keberhasilan transformasi politik dari otoriter ke demokrasi, walau sesungguhnya jika tidak ingin dikatakan jalan di tempat, penerapan demokrasi paska reformasi masih sebatas prosedural yang berorientasi pada kekuasaan dan raihan electoral.
Nampaknya tidak ada yang membedakan antara orde baru dengan orde reformasi, hanya pemainnya yang berbeda. Pencitraan demokrasi hanya pada tataran penggunaan instrumen demokrasi, tapi dalam prakteknya tetap saja penetrasi kekuasaan sangat kuat atau lebih tepat disebut otoritarianisme dalam penyelenggaraan bernegara.
Carut marut kehidupan demokrasi menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, justru dipicu oleh kuatnya birahi politik penguasa untuk
melanggengkan kekuasaanya, tanpa mempertimbangkan kaidah demokrasi.
Mulai dari rekayasa instrumen hukum dan penguasaan institusi hukum untuk tidak netral, monopoli sumber dana dan dukungan oligarki, penguasaan network di daerah melalui kebijakan Pilkada serentak 2024, praktek politik sandera terhadap pimpinan parpol papan atas, kewenangan untuk menetapkan perangkat Pemilu, secara terukur melakukan black campaign hingga kriminalisasi terhadap Capres lain, penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan kampanye, intimidasi terhadap pejabat negara yang tidak loyal.
Menarik untuk diamati pada Pemilu 2024 adalah terjadinya konflik politik yang semakin akut di tataran kekuasaan negara.
Pecahnya dukungan terhadap dua pasangan calon antara kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, akan menjadi pemicu terjadinya kecurangan massif pada penyelenggaraan Pemilu 2024.
Pasangan Prabowo-Gibran yang mendapat dukungan full power dari Presiden RI dan partai politik papan atas, tentunya memiliki akses terhadap network politik dan fasilitas negara, untuk dieksploitasi dalam rangka meraih suara terbanyak pada Pemilu 2024.