Banda Aceh — Kegiatan touring motor gede (Moge) dalam rangka Hari Damai Aceh ke-15 yang diinisiasi Pemerintah Aceh melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dengan melibatkan Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) pada 12 – 14 Agustus 2020 yang menggunakan dana refocusing APBA 2020 senilai Rp 305 juta, menuai kritikan dari banyak pihak.
Anggaran ratusan juta itu dipergunakan untuk membiayai kegiatan mulai dari bahan bakar peserta tur hingga uang makan dalam perjalanan selama tiga hari dari Aceh Tamiang ke Banda Aceh.
Komisi untuk Kasus Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh
menilai kegiatan tour itu tidak patut di tengah masih belum selesainya persoalan kemanusiaan di masa lalu yang menjadi tugas pokok BRA.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye KontraS Aceh Azharul Husna, Rabu (12/8), mengatakan anggaran sebanyak itu, seharusnya tidak ditempatkan untuk kegiatan yang mubazir dan tidak seirama dengan penguatan reintegrasi, pemenuhan hak-hak korban konflik dan ragam persoalan HAM masa lalu.
Kegiatan touring itu juga tidak etis di tengah upaya keras rakyat Aceh yang sedang “ikat pinggang” akibat dampak pandemi Covid-19, yang tidak jelas kapan berakhir.
“Kegiatan itu hanya sekadar menghambur-hamburkan uang Aceh hasil refocusing APBA tahun ini. Anggaran refocusing seharusnya digunakan untuk menangani pandemi Covid-19 di Aceh, bukan malah untuk jalan-jalan dan dihambur-hamburkan,” kata Husna dalam keterangannya.
Ia melanjutkan “Angka pandemi Covid-19 di Aceh kian meningkat, di tengah kondisi fasilitas kesehatan yang semakin buruk karena pandemi, bisa dibayangkan anggarannya itu malah digunakan untuk pergi touring. Betapa Pemerintah Aceh telah kehilangan rasa kemanusiaan,” sebut aktivis kemanusiaan itu.
Selain itu, Husna juga menilai kegiatan touring tersebut merupakan sikap Pemerintah Aceh yang ucapan tak serupa dengan yang dikerjakan.
“Pemerintah Aceh harusnya melarang kegiatan pengumpulan orang dalam jumlah lebih dari 10 orang. Aturan ini harusnya dilaksanakan mulai dari pihak pemerintah sendiri. Bukan malah dilanggar sendiri.”
Husna meminta Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menolak membiayai kegiatan touring itu. Karena dinilai tidak punya relevansi apapun dengan perdamaian Aceh yang masih menyisakan banyak persoalan hingga saat ini.
Apalagi setelah diketahui rombongan tersebut hanya jalan-jalan dan berswafoto saja di tiap persinggahan mereka.
“Touring swafoto ini juga bisa memberikan pembelajaran tidak bagus bagi masyarakat kita, di tengah situasi Covid 19, itu memalukan,” ujarnya.
Kajian KontraS Aceh, selama 15 tahun perdamaian Aceh, masih banyak persoalan yang belum tuntas. Pemenuhan hak korban konflik, pemulihan fisik dan psikis korban serta pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi pasca konflik, yang masih harus menempuh jalan panjang.
“BRA harusnya bisa melihat hal ini dan bukan malah meloloskan kegiatan yang tidak ada manfaatnya untuk korban konflik. Merekalah (korban) yang paling terdampak dan membutuhkan perhatian, bukan hanya acara-acara simbolis yang digelar setiap tahun oleh para elit di pemerintahan,” pungkasnya.
Husna juga sedikit menyinggung komunitas Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) yang terlibat dalam kegiatan itu.
“Komunitas moge ini kan lazimnya diisi oleh orang-orang kelas atas. Harusnya momentum hari damai ini bisa mereka manfaatkan dengan melakukan kegiatan sosial yang bersumber dari anggaran komunitas atau pribadi. Bukan malah melakukan kegiatan dengan menggunakan APBA,” ketusnya.
Koordinator Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad juga mengkritik touring moge hari damai Aceh ke-15, dimana kegiatan tersebut dinilai tidak selaras dengan peringatan perdamaian Aceh.
Zulfikar menyebutkan, kelembagaan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk sebagai indikator ukur bahwa perdamaian Aceh bejalan ke arah yang semakin hari semakin baik.
Masyarakat Aceh yang terimbas konflik masa lalu menaruh harapan besar pada BRA untuk dapat merasakan hidup lebih aman, damai dan sejahtera.
“Sekarang belum sampai ke taraf tersebut, jadi seharusnya Pemerintah Aceh harus berpikir bagaimana cara masyarakat Aceh dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat terlebih dahulu bukan dengan hura-hura show motor mewah di atas penderitaan dan air mata korban konflik,” ujar Zulfikar dalam keterangannya, Rabu (12/8).
BRA, kata Zulfikar seharusnya menitikkan kegiatan dan program kerjanya pada pemulihan kondisi hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Aceh untuk perdamaian. Misalnya mendata berapa banyak korban jiwa, baik dari masyarakat sipil, eks kombatan GAM dan aparat keamanan saat terjadinya konflik.
“Gaya peringatan damai yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh hari ini adalah style Feodalistik, sangat melukai hati keluarga korban, sangat tidak etis dilakukan dengan kondisi Aceh seperti hari ini,” ucapnya.
Untuk itu pihaknya meminta kepada seluruh Bupati/Wali Kota menolak rombongan itu hadir di kabupaten mereka. “Jangan tunggu masyarakat marah baru ambil tindakan. Dan Jika terjadi apa-apa dengan rombongan itu akibat kemarahan warga Sekda harus bertanggung jawab,” tegasnya.
Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh, juga meminta Plt Gubernur Aceh, dan Badan Reintegrasi Aceh membatalkan acara Touring Hari Damai Aceh, bekerja sama dengam Ikatan Motor Besar Indonesia. GeMPAR menilai kegiatan touring Moge itu dinilai tidak pantas dan dianggap melukai perasaan korban konflik di Aceh.
Ketua GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi mengatakan, Pemerintah Aceh saat ini seperti sudah kehilangan akal sehat dan etika kemanusiaan serta terkesan memanfaatkan moment peringatan 15 Tahun Damai Aceh hanya untuk berleha-leha.
Tidak sepantasnya, jelas Auzir, hal ini dipertontonkan ke hadapan rakyat Aceh. Auzir mengatakan, kalau ada pejabat yang hobinya touring dengan motor gede, ya silahkan buat acara sendiri dengan kelompoknya tanpa harus menggunakan uang APBA yang selama tiga hari menghabiskan dana sebesar Rp 305 Juta.
“Dalam sehari menghabiskan dana Rp 100 Juta per hari, ini artinya jelas menari-nari di atas penderitaan rakyat Aceh,” ungkap Auzir.
Selanjutnya, ungkap Auzir, jika IMBI ingin berkontribusi untuk memperingati 15 tahun Damai Aceh tidak dipersoalkan tapi jika menggunakan dana APBA tentu akan menjadi persoalan.
“Dalam situasi ekonomi yang begitu sulit dan di tengah situasi Pandemi Covid 19 ini, rasanya tidak etis dilaksanakan acara touring dan itu bertentangan dengan semangat perdamaian Aceh,” ungkap Auzir.
Alangkah baiknya, lanjut Auzir, anggaran touring Rp 305 juta itu dialihkan untuk menyantuni anak yatim korban konflik dan fakir miskin di Aceh.
“Pak Plt Gubernur harus menyadari kegiatan itu sangat tidak relevan dan justru menciptakan bumerang terhadap Pemerintah Aceh yang kendalinya berada di tangan Plt Gubernur. Batalkan dan alihkan dana itu untuk anak yatim korban konflik dan fakir miskin di Aceh sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas hikmah perdamaian Aceh,” pinta Auzir. (IA)