Tarmizi Abdul Hamid
Banda Aceh — Rencana pembangunan Underpass (terowongan) sebagai lalu lintas Po Meurah (sebutan orang Aceh untuk Gajah) pada Jalan Tol Ruas Sigli- Banda Aceh (Sibanceh) sepanjang 74 km, mendapat apresiasi dari pemerhati sejarah dan budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid.
Hal tersebut ia sampaikan usai menelusuri rute tol Indrapuri sampai Lamtamot, Aceh Besar, beberapa hari lalu.
Kolektor manuskrip Aceh ini juga menemui masyarakat desa di sekitar Lamtamot untuk menanyakan beberapa hal menyangkut adat dan kebudayaan yang berdampak langsung dengan pembangunan proyek strategis nasional tersebut.
Mantan Pengurus Majelis Adat Aceh ini memaparkan, dalam pembangunan jalan tol ini pemilik proyek PT Hutama Karya (Haka) dan pelaksana proyek PT Adhi Karya telah menunjukkan keberhasilan dalam memahami sosial budaya dan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kaedah dan kearifan Aceh.
Menurutnya, ini perlu dicontohkan kepada investor lainnya yang akan membangun Aceh ke depan.
“Hampir semua masyarakat yang saya ajak berdiskusi di lapangan tentang dampak pengerjaan jalan tol pertama di Aceh ini menunjukkan tanggapan atau hasil yang positif untuk pembangunan underpass,” kata Tarmizi akrab disapa Cek Midi, Jumat (4/9).
Cek Midi menjelaskan keberadaan underpass bagi jalur gajah bukan hanya ada di Aceh, tetapi ada juga di bagian Sumatera lain yakni Pekanbaru-Dumai.
Sementara itu lokasi jalur gajah tersebut dibangun pada kawasan lintasannya selama ini, yaitu di Seksi 1 Padang Tiji – Lembah Seulawah.
Menurut Cek Midi, urgensi yang dapat dilihat dari pembangunan underpass itu, gajah merupakan hewan langka yang dilindungi Undang-undang.
Bahkan, masa Kesultanan Aceh, gajah menjadi simbol kebesaran Aceh, penduduk pribumi Aceh, gajah sangat dihormati sehingga dalam berbagai seremonial upacara kenegaraan gajah sering diabadikan, terutama upacara adat dan upacara militer.
“Hingga penghormatan militer terhadap gajah sampai sekarang masih terus diabadikan pada instansi militer Komando Daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda yang logonya digunakan gajah putih. Ini adalah suatu perjalanan panjang keterlibatan gajah atas segala jasa sebagai kendaraan transportasi perang di Aceh pada era lampau. Maka banyak orang Aceh memanggil gajah dengan nama, diantaranya Po Meurah, Teungku di Malem, dan sebagainya,” ungkapnya.