Banda Aceh — Darud Donya menyampaikan bahwa situs sejarah Islam di Aceh banyak yang hancur dan hilang, dimulai sejak dulu saat agresi militer Belanda, sampai sekarang, saat pembangunan modern Aceh terus saja dilakukan dengan mengabaikan keberadaan situs-situs sejarah Islam tersebut.
Musnahnya bukti-bukti sejarah perkembangan dan dakwah Islam di Aceh itu terjadi disebabkan oleh berbagai hal, antara lain karena kelalaian pemerintah dan kurangnya kepedulian untuk merawat bukti sejarah.
Misalnya Situs Kerajaan Lamuri yang pada tahun 2012 hendak dijadikan lapangan golf, kemudian nasib tragis Kawasan Situs Sejarah Islam di Gampong Pande yang dijadikan kawasan pusat pembuangan sampah dan tinja manusia.
Situs makam Sultan Habib Jamalul Alam Jamalullail yang dijadikan dapur warung bakso, kompleks situs makam ulama Majlis Khan yang sudah diaspal menjadi jalan raya, kompleks makam Habib Khatibul Muluk yang dijadikan toko bangunan, Pohon Kohler (Kohler Boom) di halaman Masjid Raya Baiturrahman yang ditebang dan prasastinya dipindah dengan akses yang jauh dan tersembunyi sehingga terlupakan.
Kepingan emas Aceh yang hilang dalam penggalian situs makam sultan Iskandar Tsani, dan lain-lain. Semakin hari penghancuran situs sejarah Islam semakin masif di seluruh Aceh.
Oleh karena itu diharapkan agar segala lapisan masyarakat baik pemerintah, para alim ulama dan rakyat hendaknya bersatu saling mendukung dan mendorong dalam penyelamatan situs sejarah yang masih tersisa.
Hal tersebut disampaikan Ketua Darud Donya Cut Putri dalam makalahnya pada rapat Panitia Musyawarah (PANMUS)-XII Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, yang dilaksanakan sebagai persiapan sidang Paripurna-V Majelis Permusyawaratan Ulama Seluruh Aceh tahun 2020 yang akan mengusung tema pembahasan “Pemeliharaan Cagar Budaya dalam Perspektif Syari’at Islam”.
Makalah yang berjudul “Fenomena Pelestarian Situs Sejarah dan Cagar Budaya” tersebut dipresentasikan dalam acara yang digelar di gedung Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Selasa, 8 September 2020.