Infoaceh.net, BANDA ACEH — Meski berstatus sebagai provinsi termiskin di Sumatera, tak menjadi halangan bagi Pemerintah Aceh untuk terus menyumbangkan anggaran hibah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tiap tahun ke instansi vertikal.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mencatat, Pemerintah Aceh mengalokasikan belanja hibah sejak tahun 2017 hingga 2024 sebesar Rp6,4 triliun dengan rata-rata alokasi pertahun sebesar Rp 805,9 miliar.
Dari angka hibah tersebut, sebesar Rp308.388.997.885 dikucurkan untuk 7 instansi vertikal yang ada di Aceh
“Sepanjang tahun 2017 hingga 2024, Pemerintah Aceh mengalokasikan belanja hibah dalam APBA sebesar Rp308,3 miliar untuk 7 instansi vertikal di Aceh,” ujar Kepala Program LBH Banda Aceh, Hafidh didampingi Koordinator MaTA Alfian pada konferensi pers, di Banda Aceh, Selasa (21/1/2025).
Dari 7 instansi ver tersebut, polisi mendapat alokasi terbanyak sebesar Rp113.693.572.792 atau 37 persen dari total alokasi dana hibah.
Kemudian disusul Kejaksaan Tinggi Aceh Rp83.477.800.081 atau sebesar 27 persen, institusi TNI Rp79.207.935.012 atau sebesar 26 persen.
Selanjutnya Badan Intelijen Daerah (Binda) Aceh Rp24.946.690.000, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh Rp4.874.000.000, Badan Intelijen Strategis (BAIS) Rp1.164.000.000 dan Pengadilan Rp1.025.000.000.
Menurut Hafidh, seluruh informasi kajian tersebut diperoleh dari dokumen APBA dan portal pengadaan Pemerintah Aceh.
Jika melihat grafik, Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran untuk instansi vertikal terbesar di tahun 2021 dan semakin meningkat di tahun 2022, tahun dimana akan berakhirnya kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah.
Sempat menurun, dan meningkat kembali di tahun 2024, saat berakhirnya masa jabatan DPRA.
Peruntukan hibah dari 7 instansi tersebut jika dikelompokkan maka, peruntukan terbesar yaitu untuk pembangunan/rehab kantor sebanyak 53%.
Kemudian untuk fasilitas Rumah Dinas sebesar 19% dan untuk fasilitas olahraga sebesar 15%. Sisanya untuk belanja kendaraan dinas dan peruntukan lain-lainnya (pagar, kanopi, area parkir, taman, jalan komplek perkantoran, dll).
Sementara dalam APBA 2024 total Belanja Hibah sebesar Rp1,1 triliun dengan peruntukan hibah kepada instansi vertikal sebesar Rp101,5 miliar dalam bentuk uang dan barang.
Kepala Program LBH Banda Aceh Hafidh menyebutkan, pengalokasian hibah untuk instansi vertikal sangat membebani keuangan Pemerintah Aceh.
Jika dihitung sejak 2017 – 2024, total rata-rata APBA sebesar Rp14,9 triliun dengan rata-rata Pendapatan Asli Aceh (PAA) dalam rentang waktu tersebut sebesar Rp2,4 triliun.
Hal ini menunjukkan Pemerintah Aceh sangat tergantung anggaran transfer dari pemerintah pusat.
Dalam beberapa tahun terakhir, Aceh masih merupakan provinsi termiskin di Sumatera. Masih sangat banyak urusan wajib pemerintah Aceh yang belum
dicapai sehingga mengalokasikan belanja hibah yang nominalnya sangat besar, apalagi hibah untuk pemerintah pusat sangat tidak patut dilakukan oleh Pemerintah Aceh.
Hal tersebut dengan tegas juga disampaikan dalam Pasal 298 ayat (4) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Pemberian hibah untuk instansi vertikal di Aceh dinilai berpotensi menyalahi aturan.
“Jika merujuk aturan-aturan terkait hibah Pemerintah Daerah, pengalokasian belanja hibah bagi instansi vertikal ini berpotensi menyalahi ketentuan. Banyak prasyarat yang harus dipenuhi sehingga pengalokasian hibah dianggap patut, sesuai urgensi dan kepentingan Pemerintah Aceh dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat,” tegas Alfian, Koordinator MaTA.
Pengalokasian hibah untuk instansi vertikal di Aceh patut diduga sebagai upaya “pengamanan” menjelang akhir masa jabatan.
“Data publikasi MaTA, menunjukkan penangganan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum (APH) di Aceh hanya menyasar kasus kecil seperti dana desa, Namun, hampir tidak ada kasus korupsi besar di level provinsi yang dapat dituntaskan hingga sampai
menyentuh aktor utama dari pusaran korupsi tersebut,” ungkap Alfian.
Karenanya, LBH Banda Aceh dan MaTA mendesak Pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) untuk menghentikan pengalokasian dana hibah untuk instansi vertikal di Aceh. Masih banyak prioritas lain yang menjadi “PR” Pemerintah Aceh
untuk diselesaikan.
“Mendesak Pemerintahan Aceh untuk fokus pada upaya percepatan pengentasan kemiskinan dengan mengalokasikan sumber-sumber pendanaan yang ada untuk kesejahteraan rakyat Aceh, termasuk pemenuhan hak-hak korban konflik yang telah direkomendasikan oleh KKR Aceh untuk mendapatkan reparasi,” pungkasnya.



