Infoaceh.net, BANDA ACEH – Elemen sipil Aceh dengan tegas mengecam keputusan Pemerintah Aceh yang telah mengucurkan dana hibah kepada lembaga vertikal, yang jelas-jelas merupakan bagian dari struktur pemerintahan pusat dan sepenuhnya dibiayai APBN.
Keputusan ini tidak hanya keliru, tetapi juga mencederai amanah rakyat Aceh yang masih hidup dalam kondisi penuh keterbatasan.
“Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Aceh,” tegas Verri Al-Buchari, Koordinator Elemen Sipil Aceh, Kamis (23/1).
Menurutnya, bagaimana mungkin, di tengah angka kemiskinan yang begitu tinggi dan infrastruktur dasar yang terbengkalai, pemerintah daerah malah mengalokasikan ratusan miliar rupiah untuk lembaga yang bukan menjadi tanggung jawabnya? Ini tidak bisa dibiarkan.”
Data yang diperoleh elemen sipil Aceh menunjukkan sepanjang periode 2017 – 2024, Pemerintah Aceh telah menggelontorkan dana hibah kepada lembaga-lembaga vertikal sebesar Rp308,3 miliar.
Ironisnya, alokasi terbesar terjadi selama kepemimpinan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh, dan tren tersebut terus berlanjut pada masa pemerintahan Pj Gubernur Achmad Marzuki dan Bustami Hamzah.
“Angka ini bukan main-main. Dengan dana sebesar itu, kita bisa membangun ratusan fasilitas kesehatan, meningkatkan kualitas pendidikan, atau menyediakan program pemberdayaan ekonomi bagi rakyat Aceh yang paling rentan. Tetapi nyatanya, uang ini malah diberikan kepada lembaga yang sudah didanai APBN. Ini adalah bentuk pengelolaan anggaran yang amat memalukan,” tambah Verri dengan nada penuh kegeraman.
Elemen sipil juga menyoroti potensi konflik kepentingan yang sangat serius dalam kebijakan ini.
Hibah kepada lembaga vertikal tidak hanya membuka celah bagi intervensi politik, tetapi juga mengancam independensi lembaga tersebut.
“Kita sedang bicara tentang ancaman terhadap tata kelola pemerintahan yang sehat. Ketika lembaga vertikal bergantung pada dana hibah daerah, mereka bisa saja menjadi alat kepentingan lokal tertentu. Ini berbahaya,” ujar Verri.
Lebih jauh, tanpa pengawasan yang ketat, kebijakan ini berpotensi membuka ruang lebar untuk praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran.