Khairil dari Koalisi NGO HAM, menyebutkan pihaknya sudah pernah mengirim surat ke BRA terkiat jumlah data korban konfilik yang sudah menerima lahan. Namun hingga saat ini, kata dia, surat itu tidak ada jawaban.
“Dimana lahan itu akan diberikan, sebab kita tahu semua lahan di Aceh ini sudah banyak perusahaan yang berdiri. Bagaimana mekanisme pembagian lahan tersebut,” ujar Khairil.
Praktisi Hukum Siti Rahmah menyampaikan persoalan ini perlu keseriusan pemangku kepentingan di Aceh agar bisa mengambil kebijakan yang dapat menyejahterakan masyarakat utamanya korban konflik.
“Sebab ini sudah bertahun-tahun tapi belum ada kejelasan dari pihak pemerintah. Hari ini banyak permaslahan yang belum kongkrit. Ini hanya butuh regulasi saja, kalau regulasinya sudah jalan maka bisa jalan,” ujarnya.
Deputi I BRA Bidang Kebijakan dan Kajian Strategis Agusta Mukhtar menyampaikan selama ini yang menjadi permasalahan pembagian tanah untuk eks kombatan GAM adalah banyak daerah di Aceh yang tak punya lahan.
“Ada pun lahannya, tapi tidak bagus kan sama saja. Ini masalah tanah adalah amanah MoU Helsinki,” katanya.
Dosen Hukum USK, Bakti Siahaan menyebutkan Tapol-Napol dan orang-orang korban konflik yang jumlahnya tentu berbeda. Eks Kombatan sebanyak 37000 lebih, Tapol-Napol 4000 lebih dan korban konflik lebih dari 3000.
“Di sini harus memperjelas posisi BRA, apakah bersifat final untuk menyatakan proses penyelesaian hak-hak korban konflik, sehingga kita akan bertanya siapa yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan hak-hak,” ungkapnya.
Dia berharap dari forum diskusi ini harus muncul keseriusan siapa dan melakukan apa untuk menyelesaikan lahan mantan kombatan, Tapol-Napol dan korban konflik.
Menurutnya, kalau diserahkan kepada BPN mereka harus ada intruksi khusus, mereka kerja sangat nomenklaturis.
“Catatan saya mari kongkritkan untuk menyelesaikan lahan eks kombatan, Tapol-Napol dan korban konflik dan kemudian meminta kepada siapa pemengang mandat tertinggin sehingga masukan ini harus sampai kepada Presiden,” pungkasnya. (IA)