BANDA ACEH – Dunia literasi di Aceh sudah memiliki jejak yang sangat panjang. Bahkan, untuk kawasan Nusantara, Aceh bisa dikatakan lokomotifnya karena lebih dahulu memulai dunia literasi. Itu karena dunia kepenulisan di Aceh jejaknya sudah jauh ke belakang, sejak 900 tahun lalu.
Pernyataan itu disampaikan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, saat menyampaikan sambutan pada pelantikan Satupena Aceh, Sabtu (14/5/2022) sore, di Café Rumah Senja, Lampriet, Banda Aceh.
Pada sambutan yang dibacakan oleh Anwar Putra Bayu, Korwil Satupena Sumatera, Denny meretas jejak buku yang tersimpan dalam perpustakaan Leiden, Belanda, yang diterbitkan pada abad ke-13, sekitar sembilan ratus tahun lalu.
Dia mengungkapkan, tak banyak yang tahu, mungkin juga tak banyak penduduk Aceh sendiri yang menyadari, di abad ke-13, sembilan ratus tahun lalu, seorang penulis Aceh sudah menerbitkan buku. Kini buku itu tersimpan dalam perpustakaan Leiden, Belanda.
Buku berjudul “The Muhimmat Al Nafa’is’ itu merupakan kumpulan fatwa Mekkah untuk orang Indonesia. Pengarangnya Abdul Salam Bin Idris, asal Aceh.
“Ini menjadi petunjuk, betapa dunia literasi di Aceh sudah memiliki jejak yang sangat panjang. Bahkan, di kawasan Nusantara, Aceh bisa dikatakan lokomotifnya, yang lebih dahulu memulai dunia literasi,” ungkap Denny.
Kata dia, buku yang aslinya berbahasa Arab-Melayu itu mengupas ihwal hukum Islam. Kemudian buku tersebut ditulis kembali oleh Prof Dr Nico Kaptein, Guru Besar Studi Islam Asia Tenggara dari Universitas Lieden, Belanda, ke dalam Bahasa Inggris.
“Karena itulah, saya Denny JA, selaku Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, sangat senang dan bangga mengukuhkan pengurus Satupena Aceh. Itu karena dunia kepenulisan di Aceh jejaknya sudah jauh ke belakang, sejak 900 tahun lalu.
Untuk membentuk Satupena Aceh, Denny mempercayakan kepada Deknong Keumalawati sebagai Ketua. Kepengurusan Satupena Aceh juga dibantu lima wakil ketua, yakni Mahdalena, Azwani Awi, Nurdin F Joes, Mutia Erawati dan Muchlis A.Md.