BANDA ACEH — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana menunjuk Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten/Kota dan Provinsi sebagai Pejabat Sementara (Pj) Kepala Daerah menggantikan Bupati/Wali Kota dan Gubernur yang habis masa jabatannya pada tahun 2022.
Hal ini seperti disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Akmal Malik, dikarenakan pelaksanaan Pilkada serentak baru akan digelar pada tahun 2024.
Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh Besar Usman Lamreung mengapresiasi penunjukan Sekda sebagai Pj kepala daerah.
Tapi untuk Provinsi Aceh, Usman Lamreung menilai penunjukan Sekda dr Taqwallah MKes sebagai Pj Gubernur Aceh tidak layak.
Sejak ditunjuk sebagai Sekda Aceh hingga saat ini, Taqwallah sibuk dengan kegiatan berbentuk pepesan kosong yang diberi nama “BEREH”, sebuah kegiatan yang hanya mengurus hal – hal yang sejatinya bisa diurus oleh kepala cleaning service di tiap kantor pemerintah.
“Sebagai Sekda Aceh saja, Taqwallah tidak mampu menjadi pemimpin bagi bawahanya. Konon lagi bila jadi Gubernur Aceh selama dua tahun?” kata Usman Lamreung dalam keterangan tertulisnya, Minggu (23/5).
Akademisi yang juga Pengamat Politik dan Pembangunan Aceh itu menilai, Taqwallah bukan tipikal birokrat yang memiliki perhatian luas untuk kemajuan Aceh. Dia sibuk dengan dunianya sendiri, kerja, kerja, kerja, tanpa memiliki goal yang ingin dicapai.
“Taqwallah menciptakan kehebohan. Pro kontra. Tapi di sisi lain tak juga terlihat yang heboh itu targetnya apa? Lihatlah pengelolaan APBA, centang perenang. Jargon Bereh itu justru tidak beres. Nir target dan tidak jelas misinya apa,” kata Usman.
Begitu juga dengan implementasi program ‘Aceh Hebat’, dalam penentuan anggaran yang tidak tepat sasaran seperti banyak temuan BPK antara lain, insentif gubernur, honor stafsus, bantuan OKP/ORMAS/ORMAWA tidak tepat peruntukannya, anggaran rehab ruang Sekda, dan pembelian mobil dinas sehingga dianggap bermewah mewahan dengan uang rakyat.
Ditambah lagi dengan program Aceh Hebat yang jalan di tempat seperti rumah kaum dhuafa yang saban tahun tak mampu (belum) direalisasikan dan selain tidak mampu membuka harmonisasi hubungan Pemerintah Aceh dan DPRA, sehingga telah menyebabkan terhambatnya dalam pembahasan anggaran
Atas dasar berbagai kebijakan tersebut, maka yang menjadi pertanyaan yaitu bila Sekda Aceh ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai Pj Gubernur Aceh, yang diharapkan jangan sampai terjadi eskalasi hiruk pikuk dinamika politik dan pro-kontra kalangan birokrasi.
Wacana penunjukan Sekda tersebut adalah sebagai langkah keberlanjutan pemerintahan daerah, untuk mempermudah kesinambungan program pasca berakhirnya Gubernur (definitif) periode 2017-2022.
Menurut Usman yang menjadi soal adalah bila terjadi penunjukan Pejabat Sementara (Pj) Gubernur Aceh adalah Sekda Aceh diperkirakan akan terjadi pro-kontra di kalangan birokrasi.
“Kalau ini terjadi saya memprediksikan kemungkinan bakal terjadi eskalasi dinamika politik, misalnya terjadi pro-kontra dikalangan birokrasi,” terang Usman.
Pasalnya selama ini berbagai kebijakan yang diputuskan Sekda Aceh belum mampu menjadi solusi untuk keluar dari berbagai masalah.
“Malahan saya tidak melihat adanya reformasi birokrasi. Jikapun ada tapi tak berjalan maksimal selama ini,” katanya.
Menurutnya, selama ini yang terjadi hanya pembenahan birokrasi adalah pelayanan dasar (pelayanan kesehatan, pendidikan, lainnya). Sedangkan pembinaan, dan pengembangan birokrasi sama sekali belum tersentuh.
Kerja Sekda Aceh hanya fokus pada pelayanan dasar kemudian disibukkan dengan presentasi- presentasi lintas bidang.
“Jadi kalau kita lihat kebermanfaatan dari kesibukannya itu sangat kurang,” pungkasnya. (IA)