KUALA SIMPANG – Direktur Toponimi dan Batas Daerah Kementerian Dalam Negeri Sugiarto didampingi Asisten I Pemerintahan dan Keistimewaan Sekda Aceh Dr M Jafar, memimpin pelaksanaan pemasangan patok (tanda) batas wilayah, antara Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara.
Pemasangan batas daerah itu dilakukan di titik 63, Kampung Tenggulun Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang.
“Pemasangan ini bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu daerah dari aspek teknis dan yuridis,” kata M Jafar, Jum’at (27/5/2022).
Tim Penegasan Batas Daerah harus menerobos hutan kurang lebih 600 meter secara garis lurus di atas peta, namun dengan kondisi jalan yang ada diperkirakan ± 2 km. Selain itu, tim juga menyeberangi sungai untuk melihat langsung titik 63 yang merupakan bagian dari batas Aceh Tamiang dengan Langkat.
Di sepanjang jalur masih banyak ditemukan jejak gajah, baik berupa tapak kawanan kaki maupun kotoran.
“Tim pusat bersama Tim Provinsi Aceh dan Sumut melihat langsung lokasi untuk memasang pilar batas antara seusai Permendagri 28/2020. Tahap awal sudah kita pasang PBA yaitu pada TK 63A,” kata Sugiarto, Direktur Toponimi dan Batas Daerah Kementerian Dalam Negeri, usai memasang PBA di antara titik 63 dan 65, Rabu (25/5/2022).
Pemasangan pilar ini nantinya akan dilanjuti oleh Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara dengan Pilar Batas Utama (PBU). Awalnya ada sekitar 67 PBU yang dipasang, namun tidak tertutup kemungkinan akan terjadi penambahan hingga 100 PBU.
“Peta kartometrik ada 67 titik, tapi hari ini kita faktual, sepertinya perlu perapatan PBU, kurang lebih 100 pilar bisa saja dipasang,” jelasnya.
Sugiarto menambahkan pemasangan PBU ini merupakan tanggung jawab masing-masing pemerintah daerah, untuk PBU ganjil diserahkan kepada Aceh sedangkan genap menjadi tanggung jawab Sumatera Utara.
Sebelumnya, pada Rapat Koordinasi dan Sosialisasi Perbatasan Daerah tanggal 24 Mei 2022, Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh, M Jafar mengatakan, ketidakjelasan batas daerah seringkali menghadirkan perdebatan kebijakan, antara lain adanya duplikasi pelayanan pada garis perbatasan yang menimbulkan inefisiensi anggaran, perebutan sumber daya alam, dan kesemrawutan urusan pertanahan, kependudukan, daftar pemilih dalam pemilu/pilkada, perizinan, tata ruang dan sebagainya.