APRI Desak Percepat Legalisasi Tambang Rakyat: Kekhususan Aceh Jangan Hanya Pemanis Bibir
“Kalau SKPA lamban dan DPRA tidak serius, maka saat qanun disahkan nanti, wilayah tambang rakyat bisa jadi sudah habis dibagi ke korporat. Qanun itu hanya akan jadi pepesan kosong,” tegasnya.
Delky juga menyinggung praktik setoran liar yang kerap terjadi akibat belum adanya legalisasi. Menurutnya, tanpa kejelasan hukum, rakyat justru menjadi korban pemerasan berkedok ‘biaya keamanan’.
“Kalau tidak dilegalkan, yang ada bukan setoran PAD, tapi setoran ke oknum. Lingkungan rusak, rakyat susah, dan negara tidak dapat apa-apa. Ini pembiaran yang disengaja,” ungkapnya.
Delky menyampaikan bahwa masyarakat sejatinya mampu mengelola tambang dengan aman dan ramah lingkungan.
Ia menyebut sejumlah metode alternatif pengolahan emas tanpa air raksa, seperti gravitasi, leaching, flotasi hingga elektrowinning.
“Selama ini rakyat dituding pencemar lingkungan karena dianggap pakai merkuri. Padahal banyak metode yang aman, tinggal bagaimana pemerintah mau membina dan mendampingi,” tambahnya.
Terkait pembiayaan, APRI mendorong Bank Aceh Syariah untuk menginisiasi skema Pembiayaan Pertambangan Rakyat (PPR) agar aktivitas pertambangan rakyat menjadi produktif dan berkelanjutan.
“Selama ini korporasi bisa dapat pinjaman hanya dengan izin eksplorasi. Kenapa rakyat tidak bisa? Ini soal keberpihakan. Saatnya Bank Aceh bertransformasi dari bank konsumtif menjadi bank produktif,” ujar Delky.
Menutup pernyataannya, Delky mendesak Gubernur Aceh bersama partai koalisi segera merealisasikan regulasi yang berpihak pada rakyat. Ia menegaskan bahwa kekhususan Aceh harus menjadi alat perjuangan ekonomi masyarakat, bukan sekadar retorika politik.
“Kalau kekhususan Aceh tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyat, maka UUPA dan MoU Helsinki hanya akan jadi cerita menyedihkan bagi generasi mendatang. Kami berharap Mualem tidak hanya memberi janji, tapi juga menindak tegas pejabat yang tidak pro rakyat,” pungkasnya.