Banda Aceh Kota Celana Pendek? Ketika Penegakan Syariat Tumpul terhadap Pelanggaran Busana Laki-laki
Pemko Banda Aceh Dinilai Tumpul
Di tengah situasi ini, Pemerintah Kota Banda Aceh dinilai tak berdaya. Padahal, sebagai daerah dengan kekhususan dalam penerapan syariat Islam berdasarkan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 dan Qanun No. 6 Tahun 2014.
Pemko memiliki kewenangan penuh melalui Wilayatul Hisbah (WH) untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran syariat, termasuk dalam hal berpakaian.
Namun faktanya, penertiban terhadap pria bercelana pendek seolah kurang mendapat perhatian atau dianggap sepele.
Yang menjadi sorotan selama ini justru perempuan yang tidak berjilbab atau mengenakan pakaian ketat, sementara pelanggaran serupa oleh laki-laki nyaris tak pernah diproses penindakan, apalagi dipublikasikan.
“Ini bentuk ketimpangan. Perempuan bisa ditegur dan dirazia, tapi laki-laki yang jelas-jelas buka aurat dibiarkan dan dianggap biasa. Di mana keadilannya?” ujar seorang aktivis perempuan di Banda Aceh.
Norma Syariat yang Hanya Sepihak?
Dalam Islam, aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut, dan aturan ini menjadi dasar dari qanun tentang busana Islami di Aceh. Namun dalam praktiknya, pengawasan terhadap aurat laki-laki seperti dianggap tidak penting, atau bahkan diabaikan.
Padahal, pelanggaran syariat bukan hanya milik satu gender. Ketika aturan hanya ditegakkan sepihak, maka kepercayaan publik terhadap penegakan syariat akan melemah dan dianggap diskriminatif.
“Kalau memang syariat mau dijaga, seharusnya adil. Jangan hanya tegas terhadap perempuan. Pria bercelana pendek di jalanan harusnya juga ditegur,” tambah aktivis tersebut.
Pihak Pemko Banda Aceh dalam berbagai kesempatan kerap berdalih bahwa pelanggaran-pelanggaran berpakaian banyak dilakukan oleh wisatawan atau pendatang. Namun fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar pelanggar justru adalah warga lokal sendiri, baik remaja maupun orang dewasa, yang sudah paham betul aturan, namun memilih untuk mengabaikannya.
Kondisi ini menunjukkan bukan sekadar edukasi yang diperlukan, tetapi juga kehadiran aparat penegak syariat yang konsisten dan tidak tebang pilih.