Banda Aceh Kota Celana Pendek? Ketika Penegakan Syariat Tumpul terhadap Pelanggaran Busana Laki-laki
Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh yang sejak lama dikenal sebagai simbol penegakan syariat Islam di Indonesia, kini menghadapi ironi yang semakin nyata: menjamurnya pelanggaran etika berpakaian, khususnya oleh kalangan laki-laki, yang mengenakan celana pendek di ruang publik secara bebas tanpa pengawasan berarti, bahkan terkesan seperti dibiarkan oleh pemegang otoritas.
Pemandangan pria bercelana pendek di atas lutut baik orang muda maupun tua, kini bukan lagi menjadi aneh di jalan-jalan utama kota ini.
Bahkan, di kawasan publik seperti taman kota, jalan protokol, hingga trotoar dan lampu merah, para pria kian bebas mengenakan pakaian yang jelas melanggar ketentuan aurat dalam syariat Islam.
Terlebih saat pagi dan sore hari, kawasan olahraga seperti Stadion Harapan Bangsa, Blang Padang, Lampineung, dan Ulee Lheue hingga warung-warung kopi dan cafe, dipenuhi oleh pria-pria dewasa dan remaja yang berlari atau berolahraga dengan mengenakan celana pendek – tanpa merasa bersalah, dan lebih penting lagi, tanpa merasa diawasi apalagi ditegur.
Syariat Dilanggar, Pejabat Diam
Ahad pagi, 27 Juli 2025, di lapangan Blang Padang – jantung ruang publik Kota Banda Aceh – kembali menjadi pusat aktivitas masyarakat. Warga dari berbagai usia tampak antusias berolahraga di tengah cuaca cerah, menciptakan suasana yang hidup dan positif.
Namun di balik semangat kebugaran itu, pemandangan yang mengusik perhatian muncul: sejumlah laki-laki berlari mengenakan celana pendek, yang secara hukum dianggap melanggar Qanun Pakaian Islami yang berlaku di Aceh.
Ironisnya, pelanggaran tersebut terjadi saat Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah (Dek Fad), juga hadir berolahraga di lokasi yang sama. Ia bahkan sempat mengunggah momen tersebut di Instagram pribadinya dengan narasi positif tentang kebersamaan dan kesehatan.
Tak ada teguran, tak ada imbauan. Keberadaan pelanggaran syariat di hadapan pejabat tinggi Aceh itu mengundang tanda tanya publik: di mana wibawa penegakan syariat?
Padahal Blang Padang sendiri merupakan tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman—simbol Islam paling ikonik di Aceh.
Seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya menyebut, “Pembiaran seperti ini mencederai komitmen penerapan syariat Islam di Aceh. Apalagi dilakukan oleh pejabat.”
Bhayangkara Run dan FKIJK Aceh Run: Syariat Dilupakan!
Fenomena yang sama terjadi pada dua ajang olahraga besar lainnya: Bhayangkara Run 2025 dan FKIJK Aceh Run 2025.
Pada Bhayangkara Run 27 Juli 2025 di depan Mapolresta Banda Aceh yang dilepas langsung oleh Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Niko Fahrizal, sejumlah peserta terlihat mengenakan pakaian lari yang tidak sesuai dengan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang busana Islami.
Meski diikuti lebih dari 2.000 peserta dari seluruh Indonesia dan berlangsung meriah, panitia tidak memberikan pernyataan terkait pelanggaran tersebut.
Di acara FKIJK Aceh Run 11 Mei 2025, Wakil Gubernur Fadhlullah didampingi Wakil Wali Kota Banda Aceh Afdhal Khalilullah, juga hadir, kali ini secara resmi melepas pelari, termasuk mereka yang tampil dengan celana pendek.
Tak hanya diam, Fadhlullah bahkan menyebut event ini sebagai bentuk keterbukaan dan keramahan Aceh kepada tamu luar daerah.
“Kami ingin tamu dari luar melihat Aceh sebagai daerah damai, terbuka, dan penuh potensi,” ujar Fadhlullah.
Respons publik pun terbelah. Sebagian mengapresiasi gaya kepemimpinan Dek Fad yang dinilai santai dan humanis. Namun banyak pula yang menilai bahwa kehumanisan tak boleh mengabaikan amanah penegakan syariat—apalagi di ruang publik dan disaksikan langsung pejabat.
Aktivis, akademisi, dan tokoh masyarakat mulai mempertanyakan arah kebijakan pemerintah dalam menyikapi pelanggaran syariat, khususnya dalam konteks olahraga dan event publik.
“Kalau di acara besar bisa bebas bercelana pendek tanpa teguran, lalu apa bedanya dengan razia Satpol PP terhadap masyarakat biasa di hari-hari biasa?” cetus seorang netizen di media sosial.
Fenomena ini menunjukkan ambiguitas dalam implementasi syariat Islam di Aceh. Di satu sisi, razia pakaian ketat atau tak berjilbab masih marak dilakukan terhadap warga lokal. Di sisi lain, pelanggaran terang-terangan dalam event nasional justru dibiarkan, bahkan dihadiri dan dilegalkan oleh para pejabat.
Pemko Banda Aceh Dinilai Tumpul
Di tengah situasi ini, Pemerintah Kota Banda Aceh dinilai tak berdaya. Padahal, sebagai daerah dengan kekhususan dalam penerapan syariat Islam berdasarkan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 dan Qanun No. 6 Tahun 2014.
Pemko memiliki kewenangan penuh melalui Wilayatul Hisbah (WH) untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran syariat, termasuk dalam hal berpakaian.
Namun faktanya, penertiban terhadap pria bercelana pendek seolah kurang mendapat perhatian atau dianggap sepele.
Yang menjadi sorotan selama ini justru perempuan yang tidak berjilbab atau mengenakan pakaian ketat, sementara pelanggaran serupa oleh laki-laki nyaris tak pernah diproses penindakan, apalagi dipublikasikan.
“Ini bentuk ketimpangan. Perempuan bisa ditegur dan dirazia, tapi laki-laki yang jelas-jelas buka aurat dibiarkan dan dianggap biasa. Di mana keadilannya?” ujar seorang aktivis perempuan di Banda Aceh.
Norma Syariat yang Hanya Sepihak?
Dalam Islam, aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut, dan aturan ini menjadi dasar dari qanun tentang busana Islami di Aceh. Namun dalam praktiknya, pengawasan terhadap aurat laki-laki seperti dianggap tidak penting, atau bahkan diabaikan.
Padahal, pelanggaran syariat bukan hanya milik satu gender. Ketika aturan hanya ditegakkan sepihak, maka kepercayaan publik terhadap penegakan syariat akan melemah dan dianggap diskriminatif.
“Kalau memang syariat mau dijaga, seharusnya adil. Jangan hanya tegas terhadap perempuan. Pria bercelana pendek di jalanan harusnya juga ditegur,” tambah aktivis tersebut.
Pihak Pemko Banda Aceh dalam berbagai kesempatan kerap berdalih bahwa pelanggaran-pelanggaran berpakaian banyak dilakukan oleh wisatawan atau pendatang. Namun fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar pelanggar justru adalah warga lokal sendiri, baik remaja maupun orang dewasa, yang sudah paham betul aturan, namun memilih untuk mengabaikannya.
Kondisi ini menunjukkan bukan sekadar edukasi yang diperlukan, tetapi juga kehadiran aparat penegak syariat yang konsisten dan tidak tebang pilih.
Banda Aceh Menuju Apa?
Jika dibiarkan terus, bukan tidak mungkin Banda Aceh akan kehilangan citranya sebagai Kota Islami dan Serambi Mekkah. Julukan yang dulunya membanggakan, bisa berubah menjadi cemoohan: “Banda Aceh, Kota Celana Pendek”.
Bukan sekadar istilah sinis, tapi realita yang terpampang nyata di jalanan kota. Jika Pemko Banda Aceh tidak segera memperbaiki sistem penegakan syariat secara menyeluruh dan adil, maka pelanggaran seperti ini akan terus membudaya, dan pada akhirnya, menggerus nilai-nilai yang selama ini dijaga.
Pemerintah Kota Banda Aceh harus segera mengintensifkan patroli WH, bukan hanya di malam hari atau bulan Ramadan, tapi juga di waktu-waktu rawan seperti pagi dan sore di kawasan publik.
Menegakkan aturan busana tanpa diskriminasi gender. Mengedukasi masyarakat secara berkelanjutan melalui media, sekolah, dan tempat ibadah.
Memasang papan peringatan di lokasi olahraga dan tempat umum terkait kewajiban berpakaian islami.
Kota ini tidak boleh membiarkan kelonggaran demi kenyamanan sesaat menghancurkan reputasi dan identitasnya.
Banda Aceh tidak boleh menjadi kota yang hanya Islami dalam simbol, tapi lumpuh dalam pelaksanaan. (Muhammad Saman)