Tapaktuan, Infoaceh.net — Serapan belanja modal Aceh Selatan menjelang akhir triwulan ketiga 2025 terperosok di titik paling rendah.
Data Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) menunjukkan per September realisasinya baru 3,29 persen atau sekitar Rp5,2 miliar dari total Rp158,17 miliar.
Angka ini bukan hanya stagnan, tetapi juga menjadi salah satu yang terburuk di Aceh. Sebagai perbandingan, rata-rata serapan belanja modal kabupaten/kota di Aceh sudah berada pada kisaran 18-22 persen.
Aceh Barat lebih 19 persen, Aceh Besar lebih 21 persen, dan Banda Aceh sudah sekitar 25 persen. Secara nasional, rerata capaian pemerintah daerah mencapai 24 persen.
Dengan demikian, menunjukkan Kabupaten Aceh Selatan terlihat masih berjalan di tempat.
Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), Fadhli Irman menilai persoalan ini bukan lagi sekadar teknis birokrasi.
Menurutnya, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS keliru jika memperlakukan daerah layaknya perusahaan pribadi.
“Kalau dalam logika bisnis, kas yang besar dianggap sehat. Tapi dalam pemerintahan, Silpa besar justru rapor merah. Itu artinya rakyat tidak menikmati hasil pembangunan,” ujar Fadhli Irman, Selasa, 16 September 2025.
Situasi serupa juga terjadi pada Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA). Hingga pertengahan September 2025, data penyaluran tahap pertama untuk Aceh Selatan masih berlabel merah, jauh tertinggal dari daerah lain.
Akibatnya, penyaluran tahap II berpotensi tertunda sehingga target realisasi DOKA 2025 mustahil tercapai.
Padahal DOKA adalah tulang punggung pembangunan Aceh, mulai dari infrastruktur, sekolah, hingga rumah sakit. Jika macet di tahap awal, seluruh agenda pembangunan bisa berhenti di atas kertas.
Lambannya serapan menimbulkan efek domino. Kontraktor lokal terpaksa menunda proyek, tukang bangunan kehilangan pekerjaan, ekonomi desa macet, pedagang kecil pun ikut terpukul karena roda pembangunan tidak berputar.
“Di atas laporan keuangan terlihat aman, tapi di lapangan rakyat yang menanggung,” kata Fadhli.
Ia menilai serapan belanja modal yang hanya 3 persen adalah anomali.
“Itu alarm keras. Artinya perencanaan tidak sinkron dengan eksekusi. Bisa karena lemahnya leadership, bisa juga karena koordinasi antar SKPK tidak berjalan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pola kejar tayang di akhir tahun justru berbahaya karena rawan menurunkan kualitas proyek dan memunculkan catatan audit.
Menurutnya, UU Keuangan Negara dan UU Pemerintahan Daerah jelas mengamanatkan efektivitas dan akuntabilitas anggaran. Jika kepala daerah lalai, hal itu bisa dikategorikan maladministrasi.
Bila ada penyalahgunaan wewenang dalam percepatan serapan, ruang pidana korupsi terbuka lebar. “Penyalahgunaan kewenangan tidak hanya soal menggelapkan uang, tapi juga ketika pejabat dengan sengaja membiarkan pembangunan gagal demi citra laporan keuangan yang stabil,” ujarnya.
Risiko politik pun membayangi. Kementerian Keuangan beberapa kali memangkas alokasi anggaran untuk daerah dengan serapan rendah.
Jika Aceh Selatan terus gagal, pemerintah pusat bisa memberi penalti fiskal pada tahun berikutnya. Hal ini bukan sekadar kerugian teknis, melainkan pukulan politik bagi Bupati Mirwan yang berpotensi kehilangan kepercayaan publik.
Ia pemerintahan tak bisa dijalankan dengan logika bisnis. “Untuk apa menjemput anggaran besar dari pusat, kalau dana yang sudah ada saja dibiarkan mengendap? Itu sama saja seperti pepatah, mengharap hujan, air di tempayan ditumpahkan,” ungkapnya.
Kini bola ada di tangan Bupati Mirwan. Ia menghadapi pilihan sulit, tetap nyaman menjaga kas dengan konsekuensi rakyat kehilangan hak pembangunan, atau mengubah arah kepemimpinan demi memastikan setiap rupiah anggaran berpihak pada rakyat.
“Sejarah akan mencatat, apakah ia memilih jalan aman ala manajer perusahaan, atau jalan berat seorang pemimpin publik sejati,” ucap Irman.