Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Bupati Aceh Selatan Dinilai Abaikan Dua Instruksi Gubernur

Bupati Aceh Selatan Mirwan MS dinilai mengabaikan dua instruksi penting Gubernur Aceh

Tapaktuan, Infoaceh.net — Bupati Aceh Selatan Mirwan MS dinilai telah mengabaikan dua instruksi penting Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) yang berkaitan langsung dengan tata kelola sumber daya alam dan penataan pertambangan rakyat.

Keterlambatan, bahkan terkesan pembiaran, terhadap dua kebijakan tersebut dinilai sebagai bentuk lemahnya komitmen pemerintah kabupaten Aceh Selatan dalam membenahi sektor sumber daya alam yang selama ini sarat masalah, tumpang tindih, dan rawan konflik sosial.

Instruksi pertama yang dinilai diabaikan adalah Surat Gubernur Aceh Nomor 500.10.25/2656, yang ditujukan kepada seluruh bupati dan wali kota (kecuali Banda Aceh dan Sabang).

Surat tersebut menegaskan agar pemerintah daerah segera mengusulkan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai implementasi dari mandat Pasal 22 PP Nomor 96 Tahun 2021 dan Pasal 35 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.

Namun hingga kini, kata Ketua Barisan Muda Aceh Selatan (BARMAS) Muhammad Arhas, Kabupaten Aceh Selatan belum juga mengusulkan penetapan WPR ke Gubernur Aceh, sementara kabupaten lain seperti Aceh Barat, Aceh Jaya, Gayo Lues dan Pidie telah mengirimkan usulan lengkap berikut peta dan justifikasi teknisnya.

“Ini bukan hanya soal administratif. Ini soal keberpihakan kepada penambang rakyat dan kepastian hukum. Di Aceh Selatan, ribuan penambang rakyat terus beraktivitas tanpa dasar hukum yang jelas karena pemerintah daerah lamban merespons instruksi gubernur,” tegas Arhas dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 7 Oktober 2025.

BARMAS menilai, ketidakseriusan Pemkab Aceh Selatan dalam mengusulkan WPR berpotensi memperpanjang praktik tambang ilegal, serta membuka ruang bagi kriminalisasi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor tambang rakyat.

Padahal, berdasarkan data Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, sedikitnya 1.200 penambang rakyat di beberapa kecamatan saat ini bekerja tanpa legalitas formal, sebagian besar di wilayah Kluet Tengah, Pasie Raja, Samadua, Sawang, Meukek hingga Labuhanhaji Barat.

Instruksi kedua yang juga dinilai diabaikan adalah Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non-Perizinan Sektor Sumber Daya Alam.

Regulasi ini menegaskan pentingnya evaluasi terhadap izin usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang bermasalah, termasuk izin yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 dan Permendagri Nomor 138 Tahun 2017 tentang Evaluasi Perizinan Daerah.

“Sayangnya, hingga kini belum ada langkah tegas dari Bupati untuk menindaklanjuti evaluasi perizinan di sektor pertambangan dan perkebunan di Aceh Selatan, padahal potensi pelanggarannya nyata,” ujar Arhas.

Ia mencontohkan, hingga kini PT Pinang Sejati Utama (PSU) dan Koperasi Serba Usaha (KSU) Tiega Manggis di kawasan Manggamat, Kluet Tengah, belum tersentuh evaluasi mendalam meski disebut dalam laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran tata batas kawasan hutan dan izin operasional.

Sementara konflik lahan antara PT ASN dan masyarakat di Trumon masih terus berlarut tanpa penyelesaian yang transparan.

Lebih lanjut, PT ALIS, perusahaan yang diduga menggarap lahan tanpa Izin Hak Guna Usaha (HGU) dan terindikasi melakukan pembakaran hutan di wilayah Trumon Timur, juga belum mendapat tindakan konkret.

Arhas mendesak Pemkab segera melakukan audit legalitas dan verifikasi lapangan bersama DLHK, Dinas ESDM, dan ATR/BPN.

“Penegakan tata kelola sumber daya alam bukan hanya soal izin, tapi juga soal keadilan ekologis dan sosial. Jika pemerintah daerah diam, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan pemerintah,” tegasnya.

Selain itu, BARMAS menyoroti 8 IUP Eksplorasi yang masih aktif di Aceh Selatan yang menurutnya perlu segera dievaluasi, terutama dalam konteks kesesuaian izin dengan RTRW Aceh Selatan serta status kawasan hutan.

“Kami menduga beberapa IUP tidak memenuhi syarat teknis dan administratif, serta berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan konflik agraria,” kata Arhas.

Ia menyoroti pemberian rekomendasi Bupati Aceh Selatan untuk IUP Eksplorasi kepada PT Kinston Abadi Mineral di Kecamatan Trumon Tengah dan Trumon Timur. Menurut Arhas, lokasi tersebut merupakan daerah rawan banjir dan konflik sosial.

Data BPBD Aceh Selatan menunjukkan bahwa Trumon Tengah dan Trumon Timur merupakan wilayah dengan frekuensi banjir tahunan tertinggi, sehingga tidak layak dijadikan area eksplorasi tambang tanpa studi AMDAL yang mendalam.

“Keputusan memberikan rekomendasi tanpa konsultasi publik dan tanpa kajian lingkungan justru menunjukkan lemahnya tata kelola. Ini bertentangan dengan Pasal 39 ayat (3) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengharuskan setiap kegiatan berisiko tinggi terhadap lingkungan disertai kajian AMDAL dan persetujuan masyarakat,” tegasnya.

Menurut BARMAS, dua instruksi gubernur tersebut semestinya menjadi momentum bagi Pemkab Aceh Selatan untuk melakukan pembenahan menyeluruh di sektor sumber daya alam, bukan justru diabaikan.

Arhas mendesak aparat penegak hukum dan Inspektorat Aceh untuk turun langsung mengevaluasi kepatuhan Bupati terhadap kedua instruksi gubernur tersebut.

“Jika instruksi gubernur saja diabaikan, bagaimana masyarakat bisa percaya Pemkab Aceh Selatan menjalankan prinsip tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berpihak kepada rakyat,” tutup Arhas.

author avatar
dara adinda

Kasih Komentar

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

Lainnya

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tutup