Dana Otsus Lebih Rp100 Triliun Habis Tapi Rakyat Aceh Masih Miskin, KPK Didesak Audit Pokir DPRA
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah temuan memperlihatkan pokir diarahkan untuk proyek fisik yang tidak memiliki urgensi di masyarakat, seperti pembangunan gedung di lokasi minim aktivitas warga atau pengadaan fasilitas yang tak dimanfaatkan optimal.
Praktik penyalahgunaan dana publik di Aceh bukan hal baru. Mahmud mengingatkan kasus korupsi beasiswa pendidikan 2017-2018 yang menyeret sejumlah anggota DPRA dan pejabat eksekutif.
Berdasarkan vonis pengadilan, kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp22,3 miliar dari total pagu Rp349 miliar. Dana yang seharusnya untuk mahasiswa kurang mampu justru dibagi-bagikan secara tidak tepat sasaran, bahkan sebagian besar alirannya disinyalir dinikmati politisi.
Kasus lain adalah skandal Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dana reintegrasi pascaperdamaian yang dialokasikan pemerintah pusat senilai Rp650 miliar lebih sejak 2005 hingga 2012 banyak tak jelas penggunaannya.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan puluhan miliar rupiah, mulai dari program rumah untuk eks kombatan yang mangkrak, hingga bantuan usaha yang fiktif.
Beberapa kasus bahkan sudah berujung pada proses hukum dengan vonis pidana terhadap pejabat BRA.
Mahmud menambahkan, indikasi serupa muncul pada pokir 2023-2024. Beberapa proyek yang diarahkan ke lokasi yang tidak masuk dapil pengusul pokir.
Ada pula alokasi hibah untuk kelompok yang terindikasi fiktif, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi seperti Pengadaan Budidaya Ikan Kakap dan Pakan Rucah untuk Masyarakat Korban Konflik yang diktif pada Badan Reintegrasi Aceh Tahun Anggaran 2023 yang menyedot anggaran hingga Rp15,7 miliar.
“Kalau pola seperti ini dibiarkan, dana publik hanya jadi bancakan politik dan pemuas nafsu elit,” katanya.
Menurut Mahmud, problem utama Aceh bukan sekadar angka kemiskinan, melainkan polarisasi politik yang kerap memanipulasi sentimen masyarakat dengan isu-isu besar.
“Rakyat Aceh selama ini hanya disuguhi simbol-simbol politik, sementara anggaran besar yang dikucurkan justru diduga hanya dinikmati segelintir elite,” ujarnya.