Diakui UNESCO, Naskah Hikayat Aceh Banyak yang Hilang
BANDA ACEH, Infoaceh.net – Meski telah diakui sebagai Memory of the World oleh UNESCO, naskah Hikayat Aceh yang tersisa kini sangat terbatas.
Hal ini terungkap dalam seminar bertema “Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri: Memory of The World UNESCO” yang digelar Majelis Seniman Aceh (MASA), Sabtu, 24 Mei 2025, di Museum Aceh.
Filolog Aceh, Hermansyah, menyampaikan bahwa dari naskah asli Hikayat Aceh, saat ini hanya tiga yang diketahui keberadaannya: satu di Perpustakaan Nasional, dan dua lainnya di Leiden, Belanda.
“Naskah yang ada hanya menceritakan Sultan Iskandar Muda hingga usia 14 tahun. Selebihnya sudah hilang,” ujarnya.
Naskah tersebut menjadi penting dan diakui dunia karena dikaji oleh para ilmuwan asing sejak abad ke-19.
Bahkan menurut TA Sakti, salah satu pembicara dalam seminar, Belanda telah mempelajari isi Hikayat Aceh sejak 1847 sebagai persiapan menghadapi Aceh dalam Perang Aceh tahun 1873.
Seminar ini juga menyoroti kontribusi Hamzah Fansuri sebagai tokoh sufi dan penyair besar asal Aceh, yang karyanya turut diakui UNESCO. Namun, banyak dari karya Hamzah juga lenyap akibat pertentangan teologis pada masa lalu.
Pengakuan UNESCO terhadap Hikayat Aceh dan karya Hamzah Fansuri dianggap sebagai momentum penting untuk merawat warisan budaya Aceh dan memperkuat literasi sejarah masyarakat.
Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memperingati dua tahun pengakuan Hikayat Aceh sebagai Memory of the World oleh UNESCO.
Seminar menghadirkan pemateri Hermansyah MTh MHum, Drs Nurdin AR MHum dan Drs Teuku Abdullah SH MA (TA Sakti). Acara diawali pembacaan syair ruba’i karya Hamzah Fansuri oleh Syarifah Alya Arsyifa dari Universitas Bina Bangsa Getsampena dan Sekolah Hamzah Fansuri.
Dalam kesempatan itu, Museum Aceh menampilkan delapan naskah klasik, antara lain Hikayat Bustamam, Hikayat Malem Diwa, Hikayat Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, Hikayat Raja Jumjumah, Hikayat Baluqia Affan, Hikayat Nun Farisi, Zinatul Muwahhidin Hamzah Fansuri, serta Hikayat Fadhan dan Hikayat Perang Khaibar.
Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang diwakili Kepala Tata Usaha UPTD Museum Aceh, Nurhasanah, mengajak masyarakat memanfaatkan museum sebagai tempat belajar budaya dan sejarah.
“Ada 1.600 naskah di Museum Aceh yang bisa dipelajari untuk kepentingan kemajuan budaya dan peradaban Aceh,” ujarnya.
Sementara Prof Yusny Saby selaku Majelis Kehormatan MASA menegaskan pengakuan UNESCO terhadap Hikayat Aceh menandakan tingginya peradaban Aceh masa silam.
“Pertanyaannya sekarang, sudah sejauh mana kita berjihad untuk menghasilkan karya besar dan merawat warisan leluhur?” ujarnya.
TA Sakti mengungkapkan Hikayat Aceh belum begitu dikenal masyarakat Aceh karena ditulis dalam bahasa Melayu dengan hanya sedikit kosakata Aceh.
“Bahasa Aceh saat itu justru memperkaya bahasa Melayu,” katanya.
Ia juga menambahkan naskah Hikayat Aceh yang diakui UNESCO banyak yang hilang, terutama bagian yang mengisahkan kiprah Sultan Iskandar Muda.
Menariknya, naskah ini pernah digunakan Belanda pada 1847 untuk mempelajari Aceh sebelum melancarkan agresi pada 1873.
Drs Nurdin AR, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, dalam materinya “Hamzah Fansuri dan Karya-Karya Tasaufnya”, menyebut Hamzah Fansuri sebagai penyair Melayu terbesar asal Aceh, pencipta karya sastra tinggi baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
Sebagian besar karya Fansuri dimusnahkan akibat kontroversi ajaran Wahdatul Wujud, namun beberapa masih bertahan seperti Syarabul ‘Asyikin, Zinatul Muwahhidin, dan kumpulan syair ruba’i.
“Untuk memahami karya Hamzah Fansuri dibutuhkan keahlian khusus, bahkan perlu membaca syarah karya lain seperti yang ditulis Syamsuddin Sumatrani,” jelas Nurdin.
Filolog Aceh, Hermansyah, menambahkan pengakuan UNESCO terhadap Hikayat Aceh dan karya Hamzah Fansuri adalah anugerah bagi Aceh.
“Ini bentuk promosi dan pengakuan internasional terhadap khazanah literasi dan budaya Aceh,” ujarnya.
Ia menyebut saat ini hanya terdapat tiga naskah Hikayat Aceh yang diketahui: satu di Perpustakaan Nasional dan dua di Leiden, Belanda.
Naskah tersebut hanya menceritakan masa kecil Sultan Iskandar Muda hingga usia 14 tahun.
Ketua Umum MASA, Chairiyan Ramli, menyampaikan kegiatan ini didukung berbagai pihak seperti Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh, Disbudpar Aceh, UPTD Museum Aceh, Universitas Ubudiyah Indonesia, UIN Ar-Raniry, Sekolah Hamzah Fansuri, Krakustik, Kasga Record, dan lainnya.