BANDA ACEH — Berbagai polemik yang terjadi di Aceh selama dua tahun terakhir tak terlepas dari kinerja buruk Sekretaris Daerah Aceh dr Taqwallah MKes. Sebagai orang nomor satu di ASN dan juga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), Taqwallah dinilai telah gagal total menjalankan tugasnya.
“Beberapa persoalan besar dan fatal di Aceh tak terlepas dari peran Sekda Taqwallah sebagai Ketua TAPA. Untuk itu, Kita mendesak Gubernur Aceh segera mengusulkan ke presiden untuk mencopot Sekda Aceh dan mengusul penggantinya yang lebih berkompeten,” ujar Juru Bicara Kaukus Peduli Aceh (KPA) Refan Kumbara, dalam keterangannya, Selasa (24/8).
Menurut KPA, beberapa kesalahan fatal Taqwallah yang menunjukkan gagalnya Sekda Aceh sebagai Ketua TAPA di antaranya mega Silpa senilai Rp 3,9 triliun pada tahun anggaran 2020 yang merupakan tertinggi sepanjang sejarah.
Tak hanya itu, kata Refan, penyusupan anggaran siluman berkode Apendiks Rp 250 miliar lebih pada APBA 2021 juga merupakan bukti kebrobrokan Taqwallah sebagai Ketua TAPA.
“Selain itu, kita juga menilai alokasi anggaran refocusing Covid-19 yang mengalami 4 kali perubahan tanpa konsultasi ke DPR Aceh, jumlah perubahan terakhirnya mencapai Rp 2,3 triliun.
Selain tidak mampu dioptimalkan untuk penanganan covid-19 sebagaimana diatur, sebagian besar justru digunakan untuk urusan di luar penanganan covid-19. Hanya Rp 610,8 miliar digunakan untuk penanganan covid-19 kemudian yang dapat direalisasikan sebanyak Rp 475,5 miliar. Ini merupakan kesalahan fatal yang berpotensi melanggar aturan dan tak terlepas dari peran Sekda,” jelasnya.
Masih menurut Refan, selama ini Sekda Aceh terlalu banyak mengurus dan nimbrung pada urusan- urusan tak penting dan bukan tupoksinya, seperti ngurus persoalan dana desa.
“Seharusnya dia lebih fokus memperhatikan manfaat dana APBA dan Otsus supaya uang rakyat itu benar-benar dirasakan oleh rakyat, bukan hilang “dihisap drakula” anggaran.
Faktanya anggaran yang besar untuk Aceh justru membuat Aceh menjadi daerah termiskin di Sumatera berulang kali. Ini bukti Sekda Aceh Taqwallah tidak becus dalam mengelola anggaran Aceh.
Jadi, tak ada alasan bagi Gubernur Aceh untuk mempertahankannya, kecuali jika memang keduanya bersekongkol untuk memporak-porandakan pemerintahan Aceh,” tegasnya.
Sebenarnya, lanjut Refan, miskomunikasi antara eksekutif dan legislatif yang berdampak kepada stabilitas politik dan Pemerintahan Aceh juga tak terlepas dari ulah Sekda, bahkan berulang kali DPR Aceh merekomendasikan untuk pergantian Sekda karena memang tidak becus bekerja sesuai Tupoksinya, bahkan cenderung menjadi sumber masalah.
Jika mengacu pada pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2009 tentang persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, pergantian Sekretaris Daerah hanya bisa dilakukan dalam waktu dua sampai dengan lima tahun sejak diangkat dalam jabatannya.
“Maka dihitung sejak 1 Agustus 2019 hingga 1 Agustus 2021 jabatan Taqwallah sebagai Sekda sudah lewat 2 tahun sehingga tidak ada larangan untuk diganti,” pungkasnya. (IA)